![]() |
Gambar diambil dari sumber ini |
Beberapa hari terakhir, media sosial dan pemberitaan internasional dipenuhi kabar soal serangan terhadap Iran yang diduga kuat melibatkan Amerika Serikat. Belum jelas benar titik pastinya—entah itu fasilitas militer, pangkalan proksi, atau instalasi penting lain—tapi yang pasti, tensi kembali memanas.
Ketegangan Lama yang Meletup Lagi
Hubungan AS dan Iran memang seperti bom waktu sejak dulu. Sejak Revolusi Iran tahun 1979, dua negara ini kayak dua kutub yang nggak pernah ketemu jalan tengahnya. Iran tidak ingin tunduk pada Barat, AS terganggu kalau ada negara yang dianggap mengancam stabilitas kawasan, apalagi yang punya ambisi nuklir dan jaringan proksi di berbagai negara.
Beberapa bulan terakhir, hubungan itu makin tegang. Perang bayangan antara Israel dan kelompok pro-Iran seperti Hizbullah atau Houthi makin panas. Serangan terbaru ini jadi semacam titik kulminasi—dan AS, lagi-lagi, terlihat jadi aktor dominan yang bertindak tanpa banyak bicara.
Kalau ditanya kenapa AS ikut campur, jawabannya bisa beragam. Versi resmi mungkin bilang ini soal "menjaga stabilitas kawasan", "melindungi kepentingan sekutu", atau "merespons ancaman terhadap pasukan AS di Timur Tengah".
Tapi kalau kita tarik sedikit ke belakang, semua ini juga soal citra dan kepentingan jangka panjang. Iran adalah kekuatan yang sulit dikendalikan. Dan di mata AS, semakin cepat pengaruh Iran dipangkas, semakin aman aliansinya di kawasan.
Di sisi lain, momen ini juga politis. Menjelang tahun pemilu di AS, pemerintah mana pun pasti ingin tampil tegas, kuat, dan mampu menjaga kepentingan nasional. Sayangnya, yang jadi korban bukan elite politik, tapi rakyat di zona konflik.
Video Trump Umumkan AS Sukses Serang Musnahkan 3 Situs Nuklir Iran
Dunia Berkembang dan Dilema yang Itu-Itu Lagi
Nah, di sinilah pertanyaan besarnya muncul: bagaimana dengan negara-negara berkembang?
Ambil contoh Indonesia. Kita punya prinsip bebas aktif. Secara teori, itu artinya bebas menentukan posisi, tapi tetap aktif dalam menjaga perdamaian dunia. Masalahnya, dalam praktik, prinsip ini sering jadi tameng untuk diam—bukan karena tak peduli, tapi karena banyak pertimbangan: hubungan dagang, tekanan diplomatik, hingga kecemasan soal “jangan ikut campur urusan negara lain”.
Tapi diam juga bukan pilihan yang netral. Dalam banyak kasus, diam adalah bentuk legitimasi. Ketika ada agresi militer, lalu kita memilih bungkam, itu memberi ruang pada narasi dominan bahwa kekerasan itu dibenarkan demi “stabilitas”.
Lalu apa dong yang bisa dilakukan negara berkembang? Bersikap, bukan berarti memihak secara militer. Tapi setidaknya menunjukkan sikap: bahwa konflik harus diselesaikan lewat diplomasi, bukan lewat rudal dan drone. Bahwa dunia ini bukan panggung eksklusif milik negara kuat, dan negara-negara kecil juga punya suara.
BRICS, OKI, dan Harapan yang Masih Absen
Banyak harapan selama ini digantungkan ke koalisi Global South seperti BRICS atau Organisasi Kerja Sama Islam (OKI). Tapi sampai saat ini, belum ada gerakan nyata yang menunjukkan bahwa negara-negara ini bisa jadi penyeimbang wacana dominan dari Barat.
OKI, misalnya, lebih sering mengutuk daripada memberi solusi. BRICS, meski berambisi jadi kekuatan tandingan, belum punya agenda kolektif dalam hal penyelesaian konflik seperti ini. Akhirnya, negara-negara berkembang lagi-lagi terpaku di tengah: terlalu lemah untuk menekan, terlalu diam untuk didengar.
Dunia yang Penuh Ironi
Yang paling menyedihkan dari situasi ini adalah bagaimana kekerasan bisa berlangsung tanpa banyak konsekuensi hukum internasional. Dunia seolah terbiasa dengan serangan yang dilakukan tanpa mandat PBB. Diplomasi sekarat, hukum internasional kehilangan taring, dan publik dunia disuguhkan narasi sepihak yang dibungkus sebagai “langkah penyelamatan”.
Lalu kita bertanya-tanya, apa gunanya jadi bagian dari komunitas internasional kalau yang kuat selalu bisa memaksakan kehendaknya.
Bagi negara seperti Indonesia, suara kita memang mungkin kecil. Tapi dalam sejarah, suara-suara kecil yang berani bersikap justru sering jadi penentu arah baru.
Ini bukan soal memilih Iran atau AS. Ini soal keberpihakan pada cara penyelesaian konflik yang beradab. Soal apakah kita mau tetap jadi penonton pasif dari perang-perang yang dibuat negara kuat, atau mulai bersuara — meski pelan — bahwa dunia bisa diatur dengan cara yang lebih manusiawi.
Mungkin suara kita nggak langsung didengar. Tapi diam selamanya jelas bukan pilihan.
Keyword:
AS serang Iran, konflik Iran 2025, posisi Indonesia konflik global, dilema negara berkembang, serangan Amerika ke Iran, diplomasi Indonesia Iran