Di tulisan sebelumnya, penulis coba membedah gagasan Soekarno dalam meletekkan pandangan hidup bangsa Indonesia dengan sudut pandang lain. Selain menjadi strategi politiknya Soekarno, tujuan lainnya adalah menghapus warisan kolonial yang dianggap merusak mental bangsa.
Dekolonisasi tidak hanya mendorong penjajah keluar fisik, tetapi juga bebas dari cara berpikir, nilai-nilai, dan sistem yang kiri oleh kolonialisme. Satu jenis kolonisasi yang paling dalam adalah kolonisasi mental: kondisi di mana bangsa terjajah tidak hanya tunduk secara fisik, but also secara psikis menerima superioritas penjajah. Dalam konteks ini, Pancasila sebagai dasar negara Indonesia bukan sekadar rumusan lima sila, melainkan merupakan proyek ideologis untuk melepaskan diri dari warisan kolonial dan membangun jati diri bangsa merdeka.
Sejak era kemerdekaan, bangsa Indonesia menghadapi permasalahan besar dalam menentukan identitas nasional yang tidak ingin mewariskan pikiran penjajahan. Kolonialisme telah mengakar ke dalam sistem pendidikan, birokrasi, dan cara berpikir masyarakat. Dalam membangun sebuah bangsa tidak hanya fokus pada struktur pemerintahan saja, tetapi juga membangun pandangan hidup sebagai identitas nasional.
Kolonialisme dan Warisan Mentalitas Penjajahan
Selama lebih dari tiga abad penjajahan Belanda, bangsa Indonesia dibentuk dalam struktur sosial yang timpang. Pendidikan kolonial membentuk kelas elit pribumi yang secara budaya dan cara berpikir menjauh dari masyarakatnya sendiri. Mereka dididik untuk menyolok pemerintahan kolonial, bukan untuk membebaskan bangsanya. Dalam sistem ini, internalisasi dipelajari bahwa modernitas hanya bisa dicapai melalui jalan yang ditunjukkan oleh Barat. Inferioritas mental ini menjalar hingga ke sistem nilai, budaya, bahkan kepercayaan diri nasional.
Kolonialisme juga membentuk dikotomi-dikotomi berikut: Barat-Timur, rasionalitas-tradisi, modernitas-keterbelakangan. Paradigma pandang ini berakar pada berbagai institusi yang diwariskan berupa hukum, pendidikan, dan pemerintahan. Bahkan hingga sekarang, warisan itu masih dapat dirasakan dalam berbentuk mentalitas birokrasi berstruktur hierarkis dan sistem pendidikan mengekor model asing.
Tak hanya itu, kolonialisme juga memecahi identitas bangsa dengan politik etis dan devide et impera, sehingga banyak kelompok etnis dan agama saling mencurigai dan saling membenci satu sama lain. Karena itu, agar terbentuklah bangsa yang bersatu dan percaya diri, harus ada narasi besar yang dapat menyatukan tetapi tidak menghilangkan keberagaman. Itulah letak posisi Pancasila sangatlah penting.
Pancasila Sesuai Cita-Cita Soekarno
Pancasila sebagai Antitesis
Di sini, lahirnya Pancasila akan dianggap sebagai sesuatu yang bertolak belakang dengan pola pikir kolonial. Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan bahwa Pancasila tidak hanya berfungsi sebagai dasar negara tetapi juga "philosophische grondslag"—cara hidup yang berdasarkan nilai-nilai lokal, pengetahuan kolektif bangsa, dan keyakinan spiritual yang berlandaskan pada Nusantara. Ia menentang liberalisme mentah-mentah ala Barat dan fasis otoritarianisme yang muncul saat itu.
Pancasila memberikan jalan tengah: humanisme agama, nasionalisme inklusif, dan keadilan sosial yang tidak mengarah pada komunisme. Ini adalah upaya dekolonisasi ideologis: membangun identitas nasional yang independen tanpa meniru ideologi asing. Dalam pengertian ini, Pancasila adalah deklarasi kemerdekaan mental.
Selain itu, lima sila Pancasila jelas menegaskan betapa pentingnya aspek spiritual, sosial, dan keadaban dalam kehidupan berbangsa. Ketuhanan yang Maha Esa, contohnya, mengtolak sekularisme ekstrem sekaligus menelisik fanatisme keagamaan. Kemanusiaan yang adil dan beradab adalah kritik terhadap rasisme kolonial. Persatuan Indonesia adalah antitesis politik pecah belah. Kerakyatan menggambarkan tradisi musyawarah yang hidup dalam budaya lokal, dan keadilan sosial menjadi penegasan atas hak rakyat yang lama-kelamaan diabaikan dalam sistem kolonial.
Pancasila di antara Radikalisme vs Separatisme
Penyebaran Pancasila sebagai Upaya Dekolonisasi Mental
Pemerintah Indonesia post-kemerdekaan berusaha memjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa. Puncaknya ialah di era Orde Baru, ketika Pancasila diinstitusionalisasikan melalui program Penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Namun, alih-alih menjadi alat pembebasan, Pancasila di waktu ini justru depolitisasi dan direduksi maknanya. Ia dibuat alat kontrol negara atas masyarakat, bukan ruang refleksi dan diskusi kritis.
Ironisnya, praktik semacam itu ternyata kembali menyerupai praktik kolonial: satu arah, koersif, partisipasi rendah. Artinya, dekolonisasi mental tidak selalu berhasil hanya dengan mengganti simbol atau institusi. Jika Pancasila hanya diletakkan sebagai doktrin negara, bukan sebagai gagasan yang hidup dan dialektis, maka semangat dekolonisasi itu sendiri terancam mati.
Pada masa reformasi, terbuka ruang demokrasi, namun Pancasila justru sempat ketinggalan pamornya. Banyak generasi muda yang mulai diragukan relevansinya, beberapa karena trauma lama beberapa karena hilangnya ruang-ruang diskursus baru. Padahal, semangat Pancasila sebagai alat pembebasan seharusnya selalu dilakukan dalam bentuk-bentuk lain: pendidikan kritis, ruang seni, diskursus publik, dan kebijakan negara yang partisipatif.
Seperti dituturkan dari Kompas, dekolonisasi Pancasila membutuhkan peran aktif masyarakat untuk mennyalikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, bukan seremonial saja.
Pancasila di Era Orde Baru
Refleksi Kritis
Pancasila sebagai proyek mental dekolonisasi adalah warisan yang belum selengkapnya. Ia membutuhkan diteruskannya perawatan, kritik, dan penafsiran kembali agar tetap relevan. Di era hari ini, tantangannya datang dari bentuk kolonialisme baru: dominasi korporasi multinasional, standar ganda global, dan hegemoni budaya digital Barat.
Kritik reflektif terhadap Pancasila harus dilakukan bukan dengan menolaknya, tetapi membukanya sebagai ruang diskusi yang dinamis. Warga negara Indonesia perlu menyadari bahwa dekolonisasi bukanlah pekerjaan satu generasi. Ia merupakan proses panjang yang membutuhkan kesadaran kolektif, keberanian intelektual, dan ketahanan moral dalam berdiri di atas kaki sendiri.
Maka, menjadikan Pancasila sebagai alat dekolonisasi mental berarti tidak sekadar menghafalnya, tetapi menjadikannya sebagai titik tolak dalam merumuskan kebijakan, membentuk pendidikan, dan membangun budaya yang membebaskan. Dalam ruang itulah, Pancasila akan hidup dan terus menjadi senjata bangsa ini untuk melawan bentuk-bentuk penjajahan baru, baik yang kasat mata maupun yang tersembunyi dalam cara berpikir kita sendiri.
Pancasila sebagai proyek dekolonisasi mental adalah warisan yang belum selesai. Ia adalah perlu terus dirawat, dikritik, dan ditafsir ulang agar tetap fresh dalam konteks hari ini. Dalam era hari ini, kesulitan timbul dari dalam dalam bentuk kolonialisme baru: dominasi korporasi multinasional, standar ganda global, dan hegemoni budaya digital Barat.
Kultural digital dominasi, misalnya, berupa dalam bentuk algoritma media sosial yang lebih banyak mengkuatkan tren dan nilai-nilai eksternal daripada menggali kearifan lokal. Ekonomi global hegemoni juga memaksa negara berkembang untuk tunduk ke sistem pasar tidak adil, sehingga menjadikan pembangunan lebih kepentingan pemilik modal asing daripada kesejahteraan rakyat sendiri. Selagi itu, pembajakan diskursus nasional terjadi ketika wacana-wacana penting tentang masa depan bangsa justru ditentukan oleh aktor-aktor luar atau elit politik yang menjauh dari realitas rakyat.
Dalam konteks ini, Pancasila bukan hanya warisan, tetapi juga senjata kultural dan ideologis yang perlu dihidupkan kembali. Refleksi kritis tentang Pancasila perlu dilakukan bukan dengan menolaknya, tetapi dengan membukanya sebagai ruang diskusi yang hidup. Bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa dekolonisasi bukanlah pekerjaan satu generasi. Ini adalah proses panjang yang membutuhkan kesadaran kolektif, keberanian intelektual, dan keteguhan moral untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Membuat Pancasila sebagai instrumen dekolonisasi mental bukan hanya untuk menghafal, tetapi membuktikannya sebagai titik tolak dalam merumuskan kebijakan, membentuk pendidikan, dan membangun budaya yang membebaskan. Pendidikan harus menempatkan kesadaran kritis diatas hafalan nilai. Kebijakan publik harus bertumpu pada prinsip keadilan sosial, bukan kepentingan oligarki. Diskursus publik harus kembali dimerakkan oleh rakyat, bukan dirangsangkan oleh tren global yang seragam dan dangkal.
Dalam ruang itulah, Pancasila akan hidup dan terus menjadi senjata bangsa ini untuk melawan bentuk-bentuk penjajahan baru, baik yang kasat mata maupun yang tersembunyi dalam cara berpikir kita sendiri. Ia menjadi fondasi untuk membangun peradaban Indonesia yang merdeka sepenuhnya—bukan hanya dari penjajahan fisik, tetapi juga dari dominasi kultural, ekonomi, dan ideologis yang membelenggu bangsa dalam bentuk-bentuk baru.
Keyword: Pancasila, Pendidikan kritis dan pancasila, nasionalisme indonesia, divided at impera