Ketika Sejarah Ingin Ditulis Ulang: Mau ke Mana Arah Ingatan Kolektif Bangsa?

https://nasional.kompas.com/read/2025/07/02/11293491/lanjutkan-penulisan-ulang-sejarah-fadli-zon-tidak-ada-sejarawan-mundur-ini

Sejarah Bukan Sekadar Masa Lalu

Kita sering diajarkan bahwa sejarah adalah guru kehidupan. Tapi bagaimana jika guru itu diminta mengajarkan versi yang berbeda tiap kali kekuasaan berganti? Di sinilah masalah muncul ketika pemerintah Indonesia menyampaikan rencana menulis ulang sejarah nasional—dengan dalih “meluruskan narasi” dan “membangun ingatan bersama yang utuh.”

Di permukaan, terdengar mulia. Tapi publik yang kritis tahu, sejarah adalah alat politik yang sangat efektif. Bukan cuma soal siapa yang disebut pahlawan, tapi juga siapa yang sengaja dihapus dari halaman buku pelajaran.

Wacana penulisan ulang sejarah bukan hanya soal akademik atau dokumentasi, tapi soal kekuasaan atas narasi. Siapa yang punya kuasa, ia bisa memilih apa yang diingat dan apa yang dilupakan.

Narasi Sejarah: Dari Siapa, untuk Siapa?

Dalam sistem pendidikan kita, sejarah sudah lama menjadi monolog. Disusun oleh pemerintah, ditetapkan oleh lembaga resmi, lalu diajarkan seolah sebagai satu-satunya kebenaran. Hasilnya: generasi muda tumbuh dengan narasi tunggal yang minim ruang kritis.

Misalnya, peristiwa G30S. Selama puluhan tahun, kita dicekoki satu versi sejarah yang menguntungkan rezim Orde Baru. Para korban dan penyintas 1965 dilabeli “PKI” tanpa proses hukum, dan sejarah pun menjadi alat penindasan diam-diam.

Atau Reformasi 1998. Buku sejarah SMA hanya menyebut jatuhnya Soeharto, tanpa membahas kekerasan terhadap perempuan Tionghoa, penculikan aktivis, atau peran besar mahasiswa dan rakyat biasa. Sejarah direduksi jadi transisi elite.

Jadi, saat pemerintah bicara ingin meluruskan sejarah, penting untuk bertanya: apakah ini revisi yang mengakomodasi kebenaran yang tersembunyi, atau justru penghapusan versi yang tidak nyaman bagi penguasa?

Ketika Memori Kolektif Dihadapkan pada Revisi Negara

Dalam ilmu sejarah, dikenal istilah memori kolektif—ingatan bersama yang dibentuk oleh masyarakat. Tapi ketika negara terlalu dominan, memori kolektif bisa berubah jadi memori terpusat, bahkan manipulatif. Kalo kita lihat pandangan Maurice Halbwachs dalam Theory of Collective Memory, ingatan masa lalu tidak muncul begitu saja tapi dibentuk secara sosial. Artinya ingatan kita tentang masa lalu tidak muncul begitu saja, tapi dibentuk oleh kelokpok dominan. Jadi, kalau negara menulis sejarah, maka memori kolektif yang tercipta akan mengikuti logika negara, bukan logika rakyat. 

Kalau sejarah ditulis ulang tanpa mendengarkan suara korban, maka kita sedang memperpanjang ketidakadilan. Disinilah kita masuk ke teori Hegemoni Gramsci. Dalam teori ini, Gramsci menjelaskan bagaimana kekuasaan tidak hanya bekerja melalui senjata tetapi juga melalui dominasi budaya dan intelektual. Sejarah adalah alat hegemoni, dengan mengontrol narasi masa lalu penguasa bisa memengaruhi cara masyarakat berpikir hari ini.  

Penulisan ulang sejarah berpotensi besar untuk menciptakan bentuk baru dari amnesia terstruktur. Beberapa kekhawatiran utama yang muncul antara lain, Delegitimasi Pengalaman Korban banyak peristiwa kelam belum mendapatkan keadilan. Kalau sejarah ditulis ulang tanpa mendengarkan suara korban, maka kita sedang memperpanjang ketidakadilan. 

Pembentukan Pahlawan Baru yang Artifisial ada kekhawatiran bahwa sejarah digunakan untuk mengangkat tokoh-tokoh tertentu sebagai “pahlawan” dengan narasi yang dibentuk demi kepentingan elektoral. Penghilangan Kritik terhadap Negara seharusnya memberi ruang bagi kritik terhadap kekuasaan. Tapi jika ditulis oleh mereka yang sedang berkuasa, maka kritik bisa dengan mudah “dihilangkan” dari catatan resmi.

Negara Lain Pun Pernah Melakukan Hal Serupa

Indonesia bukan satu-satunya negara yang mencoba menata ulang narasi sejarah.

Turki di bawah Erdoğan merevisi sejarah untuk memperkuat identitas Islamis dan menghapus warisan sekuler Atatürk.

Jepang berkali-kali dikritik karena “memutihkan” peran mereka dalam kekejaman Perang Dunia II, termasuk soal comfort women.

Tiongkok juga dikenal membentuk sejarah versi Partai Komunis, di mana tragedi Tiananmen dihapus dari kurikulum pendidikan.

Tapi contoh yang lebih progresif bisa dilihat dari Jerman, yang berani membuka aib sejarah Holocaust dan menjadikannya pelajaran moral bangsa. Di sana, sejarah tidak ditutup-tutupi, tapi dipelajari secara terbuka untuk memastikan tragedi serupa tak terulang. Menarik kalau kita hubungkan dengan pemikiran Michael Focaulr soal kuasa dan pengetahuan. Focault bilang pengetahuan itu tidak netral. Yang mengontrol pengetahuan pada akhirnya mengotrol kuasa. 

Dalam hal ini, sejarah bentuk pengetahuan yang, dia juga mengontrol kuasa. Negara bisa menyusun "kebenaran resmi" melalui buku sejarah, lalu menjadikannya standar dalam pendidikan. Jadi jangan heran, kalau banyak generasi muda tidak tahu soal kekerasa 1965 atau kekerasan 1998 karena versi "benar" yang tersedia hanyalah versi yang disusun dengan kuasa. 

Bagaimana Seharusnya Sejarah Ditulis?

  1. Partisipatif dan Inklusif, Penulisan sejarah seharusnya melibatkan beragam aktor—sejarawan independen, jurnalis, aktivis, akademisi, hingga komunitas korban.
  2. Transparansi Metodologi, siapa pun yang terlibat harus terbuka soal sumber, cara kerja, dan keterbatasannya. Sejarah bukan alat propaganda.
  3. Pengakuan terhadap Narasi Minoritas dan Korban, versi sejarah yang dominan sering kali menghapus suara rakyat kecil. Penulisan ulang seharusnya membalikkan itu: memberikan ruang bagi yang selama ini dibungkam.

Apakah Kita Harus Menolak Penulisan Ulang?

Tidak. Penulisan ulang sejarah bisa menjadi jalan menuju rekonsiliasi, asal dilakukan dengan pendekatan yang adil, jujur, dan kritis. Masalahnya, di Indonesia, proses ini sering kali dilakukan tertutup, dari atas ke bawah.

Yang harus kita tolak adalah:

  • Penulisan ulang yang tidak melibatkan publik;
  • Upaya mensterilkan sejarah dari konflik dan luka;
  • Pemanfaatan sejarah untuk kampanye atau agenda kekuasaan.
  • Peran Anak Muda dan Masyarakat Sipil

Generasi muda hari ini punya peran penting dalam menjaga sejarah tetap hidup dan jujur. Dengan akses informasi digital, kita bisa menggali sejarah dari berbagai sudut, membaca arsip lama, mendengarkan cerita penyintas, hingga membuat konten edukatif alternatif. Platform seperti YouTube, blog, podcast, dan media sosial bisa dijadikan alat untuk mengangkat narasi tandingan. Sejarah bukan cuma milik guru di kelas atau sejarawan senior—tapi juga milik setiap warga negara yang peduli dengan kebenaran.

Ingatan adalah kekuatan. Dan sejarah adalah ruang pertempuran untuk memperebutkan ingatan itu. Ketika negara ingin menulis ulang sejarah, kita tidak boleh diam. Kita harus kritis, partisipatif, dan berani berkata: “Sejarah bukan milik negara, sejarah milik kita semua.”

Jangan biarkan sejarah jadi alat untuk menutup-nutupi kesalahan masa lalu. Sebab bangsa yang besar bukan yang punya sejarah sempurna, tapi yang berani mengakuinya dan belajar darinya.


Ketika Sejarah Ingin Ditulis Ulang: Mau ke Mana Arah Ingatan Kolektif Bangsa?  Ketika Sejarah Ingin Ditulis Ulang: Mau ke Mana Arah Ingatan Kolektif Bangsa? Reviewed by Atallah Daffa Jawahir on Juli 02, 2025 Rating: 5