Penunjukan Kontroversial: TNI Aktif Menjabat di Bulog
Baru-baru ini, pemerintahan Prabowo Subianto membuat langkah berani dengan menunjuk anggota TNI aktif, Mayjen Novi Helmy, sebagai Direktur Utama Bulog. Keputusan ini diumumkan melalui Menteri BUMN, Erick Thohir, dan langsung menuai kritik karena bertentangan dengan Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 yang secara tegas melarang anggota TNI aktif menempati jabatan sipil. Meski banyak cendekiawan mengkritik keputusan ini, Syahganda Nainggolan, Direktur Sabang Merauke Circle, menilai ada unsur keterpaksaan di balik langkah tersebut.
Penunjukan ini menunjukkan bahwa pemerintah merasa perlu membenahi manajemen Bulog untuk menyukseskan program makan bergizi gratis, mengingat direksi sebelumnya dianggap gagal dalam menerjemahkan visi Prabowo. Namun, pengalaman militer Mayjen Novi Helmy tidak serta-merta menjamin efektivitas dalam mengelola perusahaan BUMN. Tugas utama TNI adalah melindungi keamanan negara, dan pelibatan mereka dalam jabatan sipil berisiko memunculkan kembali praktik dwifungsi TNI yang pernah terjadi di era Orde Baru.
Ketidakcocokan Kompetensi dan Risiko Konflik Kepentingan
Melibatkan TNI dalam urusan sipil menimbulkan pertanyaan besar tentang profesionalisme dan kompetensi BUMN seperti Bulog dalam membutuhkan keahlian dalam pengelolaan korporasi, finansial, dan inovasi yang seringkali tidak sejalan dengan pengalaman militer. Sebagai prajurit aktif, Mayjen Novi Helmy masih terikat dengan komando militer, yang berpotensi memicu konflik kepentingan jika kebijakan Bulog berbenturan dengan kepentingan militer.
Budaya militer yang hierarkis dan otoriter juga menimbulkan kekhawatiran mengenai budaya kerja di Bulog. Lingkungan kerja yang sehat membutuhkan ruang bagi pegawai untuk menyampaikan kritik dan masukan tanpa takut akan pembungkaman atau tindakan represif. Penunjukan militer dalam posisi sipil bisa menciptakan atmosfer yang menekan kebebasan berpendapat di internal perusahaan.
Latar Belakang Prabowo dan Kecenderungan Memprioritaskan Militer
Latar belakang Prabowo sebagai mantan jenderal TNI turut mempengaruhi kecenderungannya untuk mengangkat orang-orang dari kalangan militer ke posisi strategis di pemerintahan dan BUMN. Ini menunjukkan preferensi terhadap gaya kepemimpinan yang menekankan disiplin militer dibandingkan dengan profesionalisme sipil. Penunjukan ini juga memperlihatkan potensi bias dalam pengisian jabatan strategis, di mana loyalitas militer lebih diutamakan daripada kompetensi profesional.
Padahal, tantangan dalam pengelolaan BUMN memerlukan pendekatan yang fleksibel dan inovatif, yang seringkali bertolak belakang dengan pola pikir militer yang kaku. Keputusan ini mengaburkan batas yang seharusnya jelas antara tugas militer dan urusan sipil, berisiko menciptakan tumpang tindih tugas dan wewenang yang dapat memicu konflik kepentingan.
Dampak Terhadap Independensi Bulog dan Stabilitas Pangan
Bulog memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas harga pangan nasional. Namun, jika dipimpin oleh militer aktif, ada kekhawatiran bahwa keputusan perusahaan akan lebih condong pada kepentingan militer daripada kepentingan publik. Independensi Bulog dalam mengambil keputusan bisnis strategis bisa terganggu, terutama jika ada tekanan dari pemerintah untuk mendukung kebijakan populis.
Keterlibatan militer dalam urusan sipil juga menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakefisienan dalam birokrasi. Lingkungan kerja yang otoriter dapat membungkam kritik internal, meningkatkan risiko pemecatan sepihak, dan bahkan membuka peluang kriminalisasi pegawai yang tidak sejalan dengan kebijakan perusahaan.
Respon publik juga menyoroti bahwa penunjukan ini dapat menjadi efek domino yang terjadi di institusi sipil lainnya. Intervensi militer di ranah sipil bisa menjadi hal yang lumrah jika dibiarkan begitu saja. Akibatnya akan terjadi pengaburan batas sipil-militer dalam berbagai sektor seperti Pendidikan, ekonomi, dan Kesehatan. Tak hanya itu, justru akan meningkatkan resiko korupsi secara struktural karena perbedaan kultur militer yang tidak terbiasa dengan transparansi publik.
Mengulang Sejarah Kelam Orde Baru?
Pengalaman Indonesia di masa Orde Baru menjadi contoh nyata bagaimana keterlibatan militer dalam ranah sipil membuka ruang bagi praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merugikan negara. Alih-alih memperkuat tata kelola perusahaan, keterlibatan militer justru seringkali berujung pada penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakefisienan dalam birokrasi.
Reformasi 1998 seharusnya menjadi momentum untuk mengembalikan militer ke barak dan memisahkan urusan sipil dari pengaruh militer. Jika kini muncul kecenderungan untuk kembali ke pola lama, wajar jika publik merasa khawatir bahwa sejarah kelam tersebut akan terulang.
Mencari Pendekatan yang Lebih Efektif
Dari analisis penulis, manfaat utama melibatkan militer dalam urusan sipil mungkin hanya sebatas pada aspek disiplin. Namun, keputusan ini menimbulkan skeptisisme, terutama terkait dengan potensi konflik kepentingan dan penurunan profesionalisme dalam pengelolaan BUMN.
Jika tujuan utama adalah mendukung ketahanan pangan dan program makan bergizi gratis, pendekatan yang lebih efektif adalah melalui kolaborasi multisektor. Militer cukup berperan dalam distribusi di daerah-daerah sulit, tetapi manajemen strategis harus tetap dipegang oleh profesional sipil yang kompeten di bidangnya. Dengan demikian, prinsip-prinsip reformasi dan demokrasi tetap terjaga, sambil memastikan program pemerintah berjalan efektif dan efisien.