Sejak kapan Manchester City punya
tradisi sepak bola yang layak disebut epik? Klub ini baru berani unjuk gigi
setelah mandi duit dari Sheikh Mansour. Sebelum itu, mereka cuma klub medioker
yang kesulitan lolos ke Liga Champions, apalagi menjuarainya. Bahkan, di era
sebelum Abu Dhabi, fans City lebih banyak menghabiskan waktu menonton tetangga
sebelah—ya, Manchester United—mengangkat trofi. Ironisnya, mereka sering
mencibir MU sebagai "glory hunter club", padahal sekarang mereka
justru menjelma jadi versi plastik dari klub rivalnya sendiri.
Madrid? Ah, tidak perlu
repot-repot menjelaskan. Cukup sebut angka 14. Itu jumlah trofi Liga Champions
yang mereka punya, lebih banyak daripada kombinasi total trofi City,
pelatihnya, dan sejarah klub mereka sebelum 2008. Klub ini adalah sepak bola
itu sendiri. Madrid tidak butuh pemilik kaya raya untuk menjadi besar. Madrid
sudah besar sejak sepak bola masih dimainkan dengan bola kulit tebal yang
beratnya setara batu bata.
Sementara itu, fans City, yang
entah muncul dari mana setelah 2010-an, terus berkoar soal taktik Pep Guardiola
dan betapa superiornya mereka di atas lapangan. Hei, kami paham kalian baru
belajar menikmati sepak bola di era YouTube dan highlight lima menit. Tapi
tolong, jangan bertingkah seolah-olah sejarah sepak bola dimulai ketika Sheikh
Mansour pertama kali membuka rekening City di Manchester.
Lalu ada pembelaan klasik:
"Tapi kami main lebih bagus!" Ya, ya, main lebih bagus. Tapi ini Liga
Champions, Bung, bukan Premier League tempat kalian bebas berpesta setelah
mengalahkan Burnley dan Brentford. Real Madrid tidak main untuk menang gaya-gayaan.
Mereka main untuk menang dengan mental juara. Ingat bagaimana mereka menendang
City dari semifinal 2022 hanya dalam hitungan menit? Ya, begitulah Madrid
bekerja. Mereka tidak butuh dominasi 90 menit, cukup 10 menit untuk
menghancurkan tim yang percaya diri berlebihan.
Dan lihatlah apa yang terjadi kamis lalu
, Madrid kembali mempermalukan City di Liga Champions dengan kemenangan
telak 3-1, mengamankan agregat 6-3. Ini bukan sekadar kemenangan, ini adalah
pernyataan bahwa City masih jauh dari kelas Real Madrid.
Jika City mengira bahwa
mendominasi Premier League akan otomatis membuat mereka penguasa Eropa, mereka
salah besar. Madrid sudah membuktikan berkali-kali bahwa Liga Champions bukan
hanya soal bermain indah atau menguasai bola sepanjang laga, tetapi tentang DNA
juara yang mengalir dalam setiap pemain yang mengenakan seragam putih
kebanggaan Los Blancos. Kemenangan ini bukan sekadar hasil pertandingan, tetapi
juga pengingat bahwa ada level dalam sepak bola, dan Real Madrid adalah
puncaknya.
Seiring dengan semakin seringnya
City berusaha menaklukkan Eropa, mungkin mereka harus mulai bercermin dan
bertanya: apakah uang benar-benar bisa membeli mentalitas juara? Sementara itu,
Madrid terus melenggang sebagai penguasa sejati, memperlihatkan kepada dunia
bagaimana klub dengan tradisi dan sejarah sejati menjalankan misinya.
Lalu, bagaimana dengan Manchester
United? Fans Setan Merah pasti menikmati saat City dipermalukan Madrid, tapi
mereka juga harus sadar diri. Memang, City sok-sokan mau nantang Madrid, tapi
setidaknya mereka masih berkompetisi di level tertinggi. MU? Sudah berapa tahun
mereka sekadar jadi penggembira di Liga Champions sebelum akhirnya terdampar di
Liga Europa? Mau menertawakan City, tapi lupa kalau mereka juga belum bisa
bersaing di puncak.
City boleh saja sok superior di
Premier League, tapi jangan lupa, bahkan di liga domestik pun mereka masih
tertinggal dalam urusan trofi dari United. Dengan 20 gelar liga, MU masih raja
di Inggris, sementara City baru 9 kali juara. Mau nantang Madrid? Coba kejar
United dulu di rumah sendiri.
Dan soal Liga Champions? MU punya
tiga, City baru satu. Jadi sebelum mereka bermimpi mengungguli Madrid, mereka
harus bisa menyamai rekornya sendiri di Inggris. City memang sedang di puncak
performa, tapi sejarah tidak dibangun dalam satu dekade. Madrid telah membangun
kerajaan mereka selama lebih dari seabad, sementara City baru saja belajar cara
berdiri sendiri tanpa tongkat minyak dari Abu Dhabi.
Jadi, fans City, silakan terus
bermimpi, tapi kalau mau mengklaim sebagai klub besar di Eropa, buktikan lebih
dulu bahwa kalian bisa bertahan lama di puncak. Dan fans MU, daripada sekadar
menertawakan City, mungkin lebih baik introspeksi dan bertanya: kapan kita
kembali ke puncak?