Bebas Aktif di Era Dunia Baru: Prinsip Lama, Praktik Baru yang Belum Jelas


Dalam lima tahun terakhir, tatanan dunia berubah drastis. Tak ada lagi satu kekuatan tunggal yang mendikte globalisasi. Tiongkok makin agresif menancapkan pengaruhnya, Amerika Serikat sibuk mengelola aliansi lama sambil menghadapi tantangan dalam negeri, dan Eropa masih bergulat dengan dampak panjang perang Rusia-Ukraina. Di tengah ketegangan geopolitik ini, Indonesia tetap menggenggam prinsip warisan: bebas aktif. Tapi di dunia multipolar seperti sekarang, masihkah prinsip itu relevan? Atau justru telah kehilangan arah?
Di artikel sebelumnya, penulis sudah menyampaikan bagaimana sikap politik luar negeri era Prabowo. kali ini akan membahas sikap politik luar negeri Indonesia di 5 tahun kebelakang.

BRICS: Resmi Bergabung, Tapi Untuk Apa?

Per 6 Januari 2025, Indonesia resmi bergabung dengan BRICS—blok ekonomi negara-negara berkembang yang dipelopori Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan Afrika Selatan. Langkah ini menandai salah satu keputusan strategis paling signifikan dalam diplomasi luar negeri Indonesia pasca-Orde Reformasi. Namun, pertanyaan besarnya bukan soal apakah Indonesia masuk, melainkan untuk apa Indonesia masuk BRICS?

Secara historis, prinsip “bebas” berarti Indonesia tidak memihak kekuatan besar mana pun, dan “aktif” berarti turut serta menciptakan perdamaian dunia. Tapi BRICS, terutama setelah dimasuki Tiongkok dan Rusia yang punya agenda geopolitik kuat, bukan forum yang steril dari kepentingan kekuasaan.

Jika keikutsertaan Indonesia di BRICS hanya untuk diversifikasi mitra ekonomi, itu sah-sah saja. Tapi bila tak disertai agenda strategis—misalnya memperjuangkan reformasi struktur keuangan global atau memperkuat solidaritas negara-negara Global South—kehadiran kita bisa sekadar simbolik. Bahkan berpotensi membingungkan arah prinsip bebas aktif itu sendiri.

Indonesia perlu membuktikan bahwa keterlibatannya bukan bentuk keberpihakan diam-diam terhadap poros anti-Barat, tapi justru sebagai jembatan: yang mampu berbicara dengan semua pihak, namun tetap membawa nilai keadilan dan tatanan internasional berbasis hukum.

Baca artikel ini https://www.kemhan.go.id/balitbang/2025/02/04/indonesia-bergabung-dengan-brics-apa-manfaat-serta-kerugiannya-dan-bagaimana-strategi-pelaksanaannya.html


G20: Panggung Besar, Diplomasi Aman

Saat Indonesia menjadi presidensi G20 pada 2022, dunia sedang dihantam konflik Rusia-Ukraina. Alih-alih mengambil sikap yang tegas, Indonesia memilih narasi netral: “Recover Together, Recover Stronger.” Diplomasi kita kala itu difokuskan pada pemulihan ekonomi pasca-pandemi, bukan pada konfrontasi politik.

Sekilas ini tampak bijak. Tapi apakah memang itu bentuk “keaktifan” yang kita maksud dalam prinsip bebas aktif?

Indonesia seolah lebih nyaman berperan sebagai moderator ketimbang inisiator. Kita menjembatani, tapi tidak mempengaruhi. Kita hadir, tapi tidak memimpin. Padahal, forum sebesar G20 memberikan peluang besar untuk negara-negara berkembang menyuarakan keadilan global, terutama soal ketimpangan vaksin, utang negara miskin, dan dominasi sistem finansial dunia. Dititik ini, prinsip bebas aktif tampak kehilangan nyalinya, hadir tapi datar

Indonesia lebih berfokus pada dana ekonomi tetapi tidak banyak menyinggung perang Rusia-Ukraina.

ASEAN dan Myanmar: Kegagalan yang Tak Diakui

Kudeta militer Myanmar pada 2021 seharusnya menjadi momen bagi ASEAN—dan Indonesia—untuk menampilkan wajah bebas aktif yang progresif. Sebagai negara demokratis terbesar di Asia Tenggara, Indonesia punya posisi moral dan politik untuk memimpin desakan terhadap junta militer.

Namun sayangnya, Indonesia justru memilih pendekatan “diplomasi senyap” ketika menjabat Ketua ASEAN pada 2023. Tidak ada tekanan berarti. Tidak ada sanksi. Bahkan konsensus lima poin ASEAN praktis macet di lapangan.

Di sinilah prinsip bebas aktif diuji dan gagal. Jika kita memaknai “bebas” sebagai tidak ikut campur, maka kita sedang membiarkan prinsip itu menjadi pembenaran untuk pasifisme. Padahal, semangat awal bebas aktif adalah keberpihakan terhadap keadilan tanpa terikat pada kutub manapun. Sikap diam terhadap pelanggaran HAM yang sistematis—atas nama tidak intervensi—justru mencoreng makna historis prinsip ini.

Baca juga https://tidarinstitute.blogspot.com/2025/04/asean-outlook-on-indo-pacific-strategi.html

Palestina: Konsistensi, Tapi Terisolasi

Di tengah semua inkonsistensi itu, dukungan Indonesia terhadap Palestina tetap menjadi pengecualian. Kita vokal di PBB, aktif di OIC, dan konsisten mengecam agresi Israel. Dalam isu ini, prinsip bebas aktif benar-benar hidup: kita tidak tunduk pada kekuatan besar dan tetap memperjuangkan hak asasi manusia.

Tapi keberanian ini tampak seperti pengecualian, bukan kebiasaan. Mengapa hanya di isu Palestina Indonesia bersikap tegas dan lantang? Apakah karena dukungan terhadap Palestina aman secara politik dalam negeri? Ataukah karena sudah menjadi bagian dari konsensus nasional yang tak menimbulkan risiko?

Jika ya, maka kita menghadapi gejala diplomasi selektif. Kita bersikap hanya ketika sikap itu tidak mengancam stabilitas politik dalam negeri. Bebas aktif akhirnya berubah menjadi pragmatism for survival, bukan prinsip untuk memperjuangkan nilai universal.



Bebas Aktif: Perlu Tafsir Ulang, Bukan Diganti

Prinsip bebas aktif tidak usang. Justru di tengah dunia yang makin kompleks, prinsip ini lebih relevan dari sebelumnya—asal ditafsirkan dengan keberanian. “Bebas” hari ini tak cukup dimaknai sebagai netral, melainkan bebas dari tekanan ekonomi, politik, dan bahkan tekanan opini dalam negeri yang menyandera diplomasi luar negeri. Sementara “aktif” harus lebih dari sekadar hadir: aktif berarti memimpin, menyuarakan, dan membentuk tatanan.

Masuknya Indonesia ke BRICS, presidensi G20, kegagalan ASEAN soal Myanmar, dan konsistensi soal Palestina seharusnya menjadi refleksi kolektif kita. Sudah tepatkah arah kita? Atau kita hanya berlayar tanpa kompas, mengandalkan angin tanpa tahu pelabuhan?

Indonesia memiliki potensi besar untuk memainkan peran sentral dalam dunia multipolar. Tapi untuk itu, kita harus berani memaknai ulang prinsip bebas aktif: bukan sebagai tameng dari ketegasan, tapi sebagai fondasi keberanian.

Keyword 

Prinsip bebas aktif, politik luar negeri Indonesia, Indonesia BRICS, kebijakan luar negeri Indonesia, diplomasi Indonesia