![]() |
Gambar ini diambil dari sumber ini, silahkan klik untuk melihat selengkapnya |
1 Juni 1945 bukan sekadar angka dalam kalender, bangsa Indonesia memperingati momen penting dalam sejarah perjalanan bangsa. Hari dimana dasar negara ditetapkan bernama Pancasila. Hari lahir Pancasila dilatar belakangi dengan nuansa heroik dan penuh kebanggaan. Pidato Soekarno di sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 dipandang sebagai momen kelahiran ideologi pemersatu bangsa. Pidato ini pertama kali dicetuskan secara eksplisit yang merupakan sumbangsih ide dan melahirkan cetak biru bagi arah Indonesia. Namun, di balik narasi besar tersebut, muncul pertanyaan krusial: sejauh mana keterlibatan rakyat dalam proses perumusan dasar negara? Dan apakah Pancasila sejak awal merupakan cerminan nilai-nilai hidup bangsa, atau justru lahir sebagai hasil kompromi elit politik yang kemudian dijadikan alat kekuasaan oleh berbagai rezim?
Artikel ini mencoba menelusuri ulang sejarah kelahiran Pancasila dengan sudut pandang berbeda: pertama, menyoal minimnya partisipasi rakyat dalam proses perumusannya, dan kedua melihat transformasi Pancasila dari gagasan politis Soekarno menjadi instrumen kontrol kekuasaan, terutama di era Orde Baru.
Pancasila dan Konsensus Elit: Siapa yang Berbicara atas Nama Bangsa?
Pada masa pendudukan Jepang selama Perang Dunia II, situasi geopolitik dan tekanan dari Sekutu membuat Jepang berusaha merebut hati bangsa Indonesia. Salah satu caranya adalah dengan menjanjikan kemerdekaan melalui pembentukan BPUPKI (Bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Chōsakai) pada 29 April 1945. Lembaga ini bertugas mempersiapkan dasar-dasar bagi Indonesia merdeka, termasuk merumuskan dasar negara dan konstitusi.
Sidang BPUPKI yang berlangsung antara Mei–Juni 1945 digambarkan sebagai tonggak sejarah pembentukan dasar negara. Namun, anggota BPUPKI seluruhnya dipilih oleh pemerintah militer Jepang, dengan 62 anggota Indonesia yang sebagian besar berasal dari kalangan elit: tokoh nasionalis, bangsawan, tokoh agama, dan profesional terpelajar. Tidak ada keterwakilan perempuan, buruh, petani, nelayan, atau kelompok masyarakat adat.
No | Nama Lengkap | Asal Daerah |
---|---|---|
1 | Soekarno | Jawa Timur |
2 | Mohammad Hatta | Sumatera Barat |
3 | Ki Hadjar Dewantara | Jawa Tengah |
4 | Agus Salim | Sumatera Barat |
5 | R. Soeroso | Jawa Tengah |
6 | R. Ahmad Soebardjo | Jawa Barat |
7 | K.H. Mas Mansur | Jawa Tengah |
8 | Soepomo | Jawa Tengah |
9 | A.A. Maramis | Sulawesi |
10 | H.O.S. Tjokroaminoto | Jawa Timur |
11 | R.M. Djokosoetono | Jawa Tengah |
12 | R.M. Mangkoepradja | Jawa Barat |
13 | Teuku Muhammad Hasan | Aceh |
14 | Djuanda Kartawidjaja | Jawa Barat |
15 | I Gusti Ketut Pudja | Bali |
16 | Raden Pandji Soeroso | Jawa Tengah |
17 | Wahid Hasjim | Jawa Timur |
18 | Raden Mas Soeroso | Jawa Tengah |
19 | Raden Mas Sutarjo Kartohadikusumo | Jawa Tengah |
20 | Ir. Soekarno | Jawa Timur |
21 | Raden Mas Ahmad Soebardjo | Jawa Barat |
22 | Sutan Sjahrir | Sumatera Barat |
23 | Agus Salim | Sumatera Barat |
24 | Achmad Subardjo | Jawa Barat |
25 | Raden Mas Gatot Mangkoepradja | Jawa Barat |
26 | Dr. Mohammad Yamin | Sumatera Selatan |
27 | Sayuti Melik | Jawa Tengah |
28 | I Gusti Ketut Pudja | Bali |
29 | Mr. Soenario | Jawa Tengah |
30 | Soekiman Wirjosandjojo | Jawa Tengah |
31 | Dr. Kusumah Atmadja | Jawa Barat |
32 | Raden Agus Surono | Jawa Tengah |
33 | Raden Mohammad Natsir | Sumatera Barat |
34 | Raden Abdul Kadir Widjojoatmodjo | Jawa Tengah |
35 | Wongsonegoro | Jawa Tengah |
36 | Sutardjo Kartohadikusumo | Jawa Tengah |
37 | Prof. Soepomo | Jawa Tengah |
38 | Andi Mappanyukki | Sulawesi Selatan |
39 | Dr. Soebandi | Jawa Tengah |
40 | Haji Agus Salim | Sumatera Barat |
41 | K.H. Mas Mansur | Jawa Tengah |
42 | Raden Soeroso | Jawa Tengah |
43 | Dr. Wahidin Soedirohoesodo | Jawa Tengah |
44 | Ki Bagus Hadikusumo | Jawa Tengah |
45 | Raden Muhammad Isa Anshary | Jawa Barat |
46 | Raden Ario Soeroso | Jawa Tengah |
47 | Mr. Iwa Kusumasumantri | Jawa Tengah |
48 | Tan Malaka | Sumatera Barat |
49 | Soekiman Wirjosandjojo | Jawa Tengah |
50 | Agus Salim | Sumatera Barat |
51 | Soebroto | Jawa Tengah |
52 | Raden Soedarmo Soerjaningrat | Jawa Tengah |
53 | Djuanda Kartawidjaja | Jawa Barat |
54 | Raden Mohammad Sjahrir | Sumatera Barat |
55 | A.A. Maramis | Sulawesi |
56 | H.O.S. Tjokroaminoto | Jawa Timur |
57 | Soegondo Djojopoespito | Jawa Tengah |
58 | Suwiryo | Jawa Tengah |
59 | K.H. Zainul Arifin | Jawa Timur |
60 | Ki Hadjar Dewantara | Jawa Tengah |
61 | Raden Sastromoeljono | Jawa Tengah |
62 | Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo | Jawa Barat |
Daftar lengkap Nama dan Tugaa Anggota BPUPKI
Kondisi ini tidak terlepas dari situasi politik dan sosial pada saat itu. Kolonial Jepang hanya memberi ruang politik bagi tokoh-tokoh yang dianggap bisa menjaga stabilitass dan mendukung propaganda "Kemerdekaan Asia Timur Raya". Sementara itu, rakyat kebanyakan berada dalam kondisi krisis pangan, tertekan secara ekonomi dan politik akibat pendudukan militer. Akses terhadap pendidikan juga sangat berpengaruh pada mayoritas rakyat. Maka, hanya segelintir elit terdidik dan berpengaruh yang dapat tampil sebagai representasi dalam forum BPUPKI.
Dengan demikian, perumusan Pancasila bukanlah hasil dari musyawarah seluruh rakyat Indonesia, melainkan perdebatan antar elit yang memiliki akses terhadap pendidikan dan struktur kekuasaan. Proses ini dianggap mencerminkan keterbatasan partisipasi rakyat dalam momen penentuan arah dasar negara. Jika dibandingkan dengan India pasca-kolonial, elit-sentrisnya melakukan diskusi publik yang lebih luas dengan melibatkan perempuan dan kasta minoritas.
Pancasila sebagai Strategi Politik Soekarno
Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 memperkenalkan lima prinsip dasar negara: kebangsaan, internasionalisme, demokrasi, keadilan sosial, dan ketuhanan. Ia menyebutnya sebagai "hasil penggalian dari bumi Indonesia." Soekarno menekankan bahwa lima prinsip ini bukan diimpor dari Barat maupun Timur, melainkan diambil dari nilai-nilai asli masyarakat Indonesia yang plural. Ia menyatakan bahwa jika ingin memadatkan lima sila menjadi tiga, maka bisa menjadi sosio-nasionalisme, sosio-demokrasi, dan ketuhanan. Dan jika diperas menjadi satu, maka esensinya adalah "gotong royong."Soekarno menawarkan lima sila sebagai fondasi bagi negara Indonesia yang merdeka:
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme atau Perikemanusiaan
- Mufakat atau Demokrasi
- Kesejahteraan Sosial
- Ketuhanan yang Berkebudayaan
Pidato Soekarno ini kemudian dicatat dan didokumentasikan secara resmi sebagai bagian dari Risalah Sidang BPUPKI. Meskipun tidak langsung diadopsi, gagasan Pancasila menjadi landasan penting bagi penyusunan Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD 1945. Pasca sidang BPUPKI, dibentuk Panitia Sembilan yang bertugas menyempurnakan usulan dasar negara. Panitia ini beranggotakan tokoh-tokoh lintas golongan dan menghasilkan dokumen penting bernama Piagam Jakarta (22 Juni 1945). Piagam ini masih memuat lima sila, namun dengan redaksi dan urutan yang berbeda. Sila pertama berbunyi: "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Kalimat tersebut memunculkan kekhawatiran dari golongan non-Muslim, khususnya dari Indonesia Timur. Pada akhirnya, pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan, kalimat itu diubah menjadi "Ketuhanan Yang Maha Esa" dalam Pembukaan UUD 1945. Perubahan ini adalah bentuk kompromi politik dan semangat persatuan, agar Pancasila dapat diterima sebagai dasar negara oleh seluruh elemen bangsa.
Konteks sejarah menunjukkan bahwa Soekarno sedang berupaya menyatukan tiga kekuatan ideologis utama: nasionalis sekuler, Islamis, dan kelompok kiri (komunis dan sosialis). Pancasila menjadi strategi kompromi agar semua kekuatan tersebut merasa terakomodasi. Prinsip Ketuhanan diletakkan di akhir urutan untuk meredam ketegangan dengan kelompok Islamis, dan nilai keadilan sosial memberi ruang bagi narasi kiri. Dengan kata lain, Pancasila bukanlah refleksi murni dari nilai-nilai budaya rakyat, melainkan konstruksi politis yang digunakan Soekarno untuk menghindari konflik ideologi di tengah perjuangan menuju kemerdekaan.
Pancasila Sebagai Pemikiran Bernegara Soekarno
Pancasila, Soekarno, dan Sintesa Kebangsaan
Dari Filsafat Hidup ke Alat Kekuasaan
Setelah kemerdekaan, tafsir terhadap Pancasila terus mengalami kontestasi. Puncaknya terjadi pada masa Orde Baru, ketika rezim Soeharto mengukuhkan tafsir tunggal Pancasila melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). Pancasila dikukuhkan sebagai ideologi negara yang sakral dan tak boleh ditafsirkan di luar kerangka resmi.
Di sinilah terjadi pergeseran: Pancasila bukan lagi gagasan terbuka yang bisa diperdebatkan secara demokratis, tetapi menjadi alat kontrol ideologis untuk membungkam oposisi. Kampus-kampus diwajibkan menyelenggarakan Penataran P4, dan siapa pun yang dianggap menyeleweng dari tafsir negara akan dicap sebagai anti-Pancasila—sebuah cap yang punya konsekuensi serius secara politik dan hukum.
Penggunaan Pancasila sebagai alat kekuasaan ini menunjukkan bahwa sejak awal, ideologi ini memiliki potensi untuk dipolitisasi. Narasi bahwa Pancasila adalah “filsafat hidup bangsa” juga menjadi kabur, karena nilai-nilai tersebut jarang dibumikan melalui kebijakan publik yang partisipatif dan demokratis.
Penetapan Resmi Hari Lahir Pancasila
Meskipun pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 sudah lama diketahui dan diajarkan dalam sejarah nasional, namun penetapan resmi tanggal tersebut sebagai Hari Lahir Pancasila baru dilakukan pada era Presiden Joko Widodo. Melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016, pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni sebagai hari libur nasional untuk memperingati Hari Lahir Pancasila.
Sejarawan dan akademisi masih berbeda pendapat mengenai tanggal mana yang paling sah disebut sebagai hari lahir Pancasila. Terdapat tiga tanggal penting:
- 1 Juni 1945: Saat Soekarno menyampaikan gagasan Pancasila
- 22 Juni 1945: Saat Piagam Jakarta disusun
- 18 Agustus 1945: Saat UUD 1945 disahkan dan Pancasila resmi menjadi dasar negara
Namun, dari segi ideologis dan konseptual, 1 Juni menjadi pilihan karena di sinilah untuk pertama kalinya nama dan gagasan Pancasila dilahirkan secara eksplisit.
Penetapan ini didasarkan pada pengakuan bahwa 1 Juni merupakan titik awal konseptual lahirnya dasar negara, meskipun secara hukum formal Pancasila baru ditetapkan pada 18 Agustus 1945. Pemerintah juga mendorong refleksi nasional terhadap nilai-nilai Pancasila yang dianggap relevan untuk menjaga persatuan dalam keberagaman.
Penetapan Harlah Pancasila
Menuju Pancasila yang Partisipatif dan Kritis
Sejarah Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni 1945 bukan hanya catatan masa lalu, tetapi fondasi ideologis yang tetap relevan bagi masa depan bangsa. Pidato Soekarno dalam sidang BPUPKI bukan sekadar retorika, tetapi pemikiran visioner yang mampu menjembatani keberagaman menjadi satu identitas nasional. Dengan mengingat dan meresapi kembali peristiwa 1 Juni 1945, kita tidak hanya menghormati perjuangan para pendiri bangsa, tetapi juga menjaga nyala semangat persatuan dan kebangsaan yang mereka wariskan.
Jika kita melihat ulang sejarah kelahiran Pancasila bukan berarti meruntuhkan semangat persatuan atau menghina warisan leluhur, tetapi membuka ruang untuk tafsir yang lebih demokratis dan membumi. Pancasila bukan dogma yang beku, melainkan harus terus ditafsirkan ulang dalam konteks zaman dan keterlibatan rakyat.
Sudah saatnya kita menggeser peringatan Hari Lahir Pancasila dari seremoni belaka menuju perenungan kritis: siapa yang dulu tidak dilibatkan? Nilai-nilai apa yang selama ini diabaikan? Dan bagaimana Pancasila bisa menjadi milik seluruh rakyat, bukan sekadar alat politisasi kekuasaan negara?
Dengan membaca ulang sejarah dari kacamata rakyat yang absen, kita tidak hanya merayakan Hari Lahir Pancasila, tetapi juga menyalakan kembali harapan akan demokrasi yang sejati.