Konflik Thailand–Kamboja dan Ujian ASEAN: Ketika Diplomasi Kolektif Tak Cukup

Gambar ini diambil dari link ini

Ketika tembakan meletus di perbatasan Thailand dan Kamboja pada 24 Juli 2025, dunia seakan menyaksikan kilas balik dari konflik-konflik perbatasan era lampau yang gagal dituntaskan. Namun yang mengejutkan, bukan hanya kobaran api yang menghanguskan rumah dan lahan, melainkan diamnya banyak pihak, termasuk Indonesia, negara yang selama ini mengklaim diri sebagai pemimpin de facto ASEAN.

Setelah lima hari pertempuran, gencatan senjata akhirnya dicapai pada 28 Juli. Malaysia memfasilitasi pertemuan darurat di Kuala Lumpur, dihadiri PM Thailand dan PM Kamboja. Gencatan ini setidaknya menghentikan pertumpahan darah yang telah menewaskan puluhan orang dan membuat ratusan ribu lainnya mengungsi. Tapi pertanyaan mendasarnya: mengapa ASEAN begitu lambat? Dan ke mana Indonesia?


Konflik Klasik yang Meletus Kembali

Sumber konflik ini sudah lama dikenal: wilayah sekitar Kuil Preah Vihear yang menjadi sengketa antara Thailand dan Kamboja. Putusan Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 1962 yang menyatakan kuil itu milik Kamboja, gagal menyelesaikan perebutan wilayah di sekitarnya. Situasi kembali memanas ketika Thailand membangun jalan militer di area yang masih disengketakan.

Pembangunan ini jelas melanggar status quo, dan Kamboja merespons dengan pengerahan militer. Dalam istilah hubungan internasional, tindakan Thailand bisa dikategorikan sebagai fait accompli—menciptakan perubahan fakta di lapangan untuk memperkuat klaim wilayah. Kamboja membalas dengan logika deterrence by punishment, sehingga pertikaian terbuka tak terhindarkan.

Namun di balik peluru dan diplomasi, konflik ini lebih dalam dari sekadar sengketa batas. Ia adalah pertarungan simbolik antara dua negara yang tengah dililit problem domestik dan menggunakan nasionalisme perbatasan sebagai alat stabilisasi politik.


ASEAN: Norma Damai yang Tak Bertaji

ASEAN memang akhirnya berhasil mendorong gencatan senjata. Tapi itu terjadi setelah lima hari pertempuran. Padahal organisasi ini memiliki berbagai forum seperti ASEAN Regional Forum, ASEAN High Council, dan Joint Border Committee yang secara teori bisa digunakan untuk mencegah konflik sejak dini.

Masalahnya, semua itu hanya bekerja di atas kertas. ASEAN terjebak dalam prinsip “non-intervensi” dan “konsensus” yang menjadikannya lambat, reaktif, dan tidak relevan saat krisis. Tidak ada mekanisme sanksi. Tidak ada kekuatan mediasi aktif yang melembaga. Diplomasi kolektif ASEAN nyaris seperti pertemuan klub sosial—penuh sopan santun, minim tindakan.


Indonesia yang Diam di Tengah Kekacauan

Ketidakhadiran Indonesia dalam penyelesaian konflik Thailand–Kamboja memperburuk ketimpangan kekuatan diplomatik di ASEAN. Negara-negara besar seperti Vietnam atau bahkan luar kawasan seperti Tiongkok bisa memanfaatkan situasi untuk memperluas pengaruh.

Secara geopolitik, konflik bilateral yang dibiarkan berlarut tanpa penyelesaian berisiko mengganggu stabilitas kawasan. Ini dapat memengaruhi kepercayaan investor, menghambat konektivitas lintas batas, dan membuka celah bagi intervensi eksternal.

Di sisi lain, sikap pasif Indonesia menandai kemunduran peran negara ini sebagai penjaga stabilitas regional. Jika Indonesia terus menerapkan diplomasi “diam dan tunggu,” maka bukan tidak mungkin ASEAN akan kehilangan identitasnya sebagai komunitas regional yang solid. Sebagai negara terbesar dan anggota pendiri ASEAN, Indonesia selama ini dikenal sebagai “abang besar” yang sering menjadi penengah konflik—termasuk dalam penyelesaian konflik Thailand–Kamboja tahun 2011.

Namun dalam konflik 2025 ini, Indonesia tampak pasif, bahkan absen secara diplomatik. Tidak ada pernyataan tegas dari Presiden atau Menteri Luar Negeri. Tidak ada inisiatif mediasi atau tekanan simbolik. Semua ruang diisi oleh Malaysia, bahkan dengan kehadiran AS dan Tiongkok sebagai pengamat.

Mengapa Indonesia bungkam? Setidaknya ada dua alasan:

1. Ketergantungan pada simbolisme bebas-aktif
Indonesia masih terkungkung oleh warisan doktrin “bebas-aktif” yang sering disalahartikan sebagai sikap netral dan tidak mau ambil posisi. Dalam praktiknya, ini berubah menjadi kebijakan pasif, bahkan dalam situasi yang jelas membutuhkan kepemimpinan moral dan diplomatik.

2. Konsentrasi penuh pada urusan domestik
Pemerintahan saat ini tengah fokus pada isu ekonomi, stabilitas politik pasca-Pemilu, dan transformasi struktural di dalam negeri. Diplomasi regional bukan prioritas utama. Situasi ini menandakan bahwa politik luar negeri Indonesia telah kehilangan orientasi proaktif-nya yang selama ini menjadi ciri khas.


ASEAN Harus Berubah, Indonesia Harus Bergerak

Konflik ini bukan hanya soal perbatasan Thailand–Kamboja. Ini adalah pengingat bahwa ASEAN butuh reformasi, bukan hanya di level teknis, tapi juga visi geopolitiknya. Zona damai tidak akan tercipta hanya dengan retorika, tetapi dengan keberanian menghadapi ketegangan.

Dan Indonesia, jika masih ingin menjadi jangkar kawasan, harus bangkit dari sikap diamnya. Bung Karno pernah berkata, "Kita tidak bisa berdiri di tengah jalan sejarah." Maka dalam sejarah ASEAN yang sedang diuji ini, Indonesia tak boleh hanya jadi penonton.

Konflik ini bisa jadi sudah mereda. Tapi luka geopolitik yang ditinggalkannya akan lama sembuh jika tidak disertai langkah berani. Gencatan senjata adalah permulaan, bukan penyelesaian. ASEAN membutuhkan arsitektur perdamaian yang lebih kuat, dan Indonesia harus kembali ke posisinya: sebagai motor regional, bukan penumpang yang pasif.

Keywords

Konflik Thailand Kamboja 2025, ASEAN dan konflik perbatasan, Peran Indonesia di ASEAN, Krisis ASEAN 2025, Ketegangan Thailand Kamboja

Konflik Thailand–Kamboja dan Ujian ASEAN: Ketika Diplomasi Kolektif Tak Cukup Konflik Thailand–Kamboja dan Ujian ASEAN: Ketika Diplomasi Kolektif Tak Cukup Reviewed by Atallah Daffa Jawahir on Juli 30, 2025 Rating: 5