Pemblokiran Rekening Tak Aktif: Gejala Baru Negara Mengawasi Terlalu Jauh?

Pada tahun-tahun terakhir, ruang privat warga negara semakin sempit. Negara—lewat berbagai institusinya—makin gemar masuk ke wilayah yang semestinya menjadi otonomi individu: urusan dompet, komunikasi digital, hingga ekspresi politik. Salah satu isu terbaru yang patut disorot adalah wacana pemblokiran rekening bank yang tidak aktif selama tiga bulan oleh PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Sekilas terdengar teknokratis dan administratif. Tapi bila ditelisik lebih dalam, kebijakan ini tidak lepas dari agenda kekuasaan: mengawasi, mengontrol, dan—bisa jadi—mengintervensi.

Kontrol Keuangan sebagai Alat Kekuasaan

Dalam politik modern, pengawasan terhadap aliran uang telah menjadi alat yang sah dan sering digunakan negara untuk melacak kejahatan seperti korupsi, pencucian uang, hingga pendanaan terorisme. PPATK sebagai lembaga intelijen keuangan negara memang memiliki mandat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dari praktik ilegal. Namun, perlu dipahami bahwa pengawasan ini juga dapat menjadi celah kekuasaan yang terlalu besar jika tidak dikontrol.

Ketika negara mulai mempersingkat masa dormansi rekening menjadi hanya tiga bulan tanpa aktivitas sebagai alasan untuk memblokir, muncul pertanyaan: apakah ini bentuk efisiensi administratif atau gejala baru dari otoritarianisme keuangan?

Langkah semacam ini, bila tidak dijelaskan secara transparan dan dilakukan tanpa dasar hukum yang kuat, mencerminkan gejala normalisasi intervensi negara atas hak-hak sipil. Rekening bank adalah simbol dari hak milik individu. Bila pemiliknya memilih untuk tidak menggunakannya untuk sementara waktu, itu bagian dari kebebasan ekonomi yang dijamin konstitusi.

Dalam demokrasi sehat, negara bekerja melayani dan melindungi, bukan mencurigai warganya secara kolektif. Tetapi ketika negara mulai memantau rekening “diam” hanya karena ia pasif selama 90 hari, publik berhak khawatir: jangan-jangan negara mulai menganggap semua warga potensial kriminal?

Respon Kementerian Menkopolkam Tentang Pemblokiran Rekening

Mengawasi yang Lemah, Membiarkan yang Kuat

Di sisi lain, kita patut bertanya: mengapa pemblokiran rekening hanya menyasar akun-akun dengan “tidak aktif,” bukan rekening besar yang selama ini terlibat dalam praktik transfer fiktif, pemecahan transaksi, atau penghindaran pajak?

Logika kekuasaan kerap bermain dengan standar ganda. Mereka yang minim transaksi justru lebih mudah dijadikan target regulasi karena tidak punya kekuatan tawar atau akses hukum yang kuat. Sementara para elite ekonomi, pemilik perusahaan cangkang, atau politisi yang menyembunyikan aset lewat rekening kompleks sering lolos dari pantauan—atau justru dilindungi. 

Pemblokiran rekening tanpa aktivitas ini, secara politis, dapat dimaknai sebagai pengalihan sorotan. Negara tampak bekerja, tapi tidak menyentuh akar persoalan. Ibarat menertibkan pedagang kaki lima tapi membiarkan mafia tanah berkeliaran.

Ancaman terhadap Ekonomi Rakyat Kecil

Bagi pelajar, pensiunan, atau diaspora Indonesia yang menyimpan uang di rekening sebagai dana darurat atau simpanan masa depan, kebijakan ini akan menimbulkan ketidakpastian dan ketakutan. Apalagi jika saldo diblokir tanpa pemberitahuan memadai, atau prosedur pengaktifan kembali rumit.

Ini semakin menegaskan pola pemerintahan yang cenderung mengatur warga dari bawah ke atas, bukan sebaliknya. Dalam politik, ini disebut top-down authoritarian technocracy—di mana urusan teknis dijadikan justifikasi untuk mengontrol kehidupan warga secara sistemik.

Sayangnya, tidak banyak suara kritis dari parlemen atau lembaga independen seperti OJK terkait kebijakan ini. Ketiadaan pengawasan politik menjadikan kebijakan seperti ini bisa terus melaju tanpa perdebatan publik yang sehat. Inilah bahaya ketika negara terlalu nyaman membuat kebijakan tanpa akuntabilitas, sementara warga kesulitan mencari keadilan saat hak-haknya diganggu.

Dalam sistem demokrasi, pemantauan rekening harus berbasis pada analisis risiko yang transparan, bukan hanya waktu dormansi. Perlu ada mekanisme counter-check yang memastikan bahwa tindakan PPATK tidak mengarah pada penyalahgunaan kewenangan, terlebih dalam tahun-tahun politik di mana kontrol terhadap keuangan oposisi atau masyarakat sipil bisa digunakan sebagai senjata.

Respon DPR-RI Atas Kebijakan PPATK Dalam Pemblokiran Rekening "Tak Aktif Selama 3 Bulan"


Negara Harus Tahu Batas

Negara memang punya tanggung jawab menjaga integritas sistem keuangan. Tapi tanggung jawab itu tidak boleh digunakan sebagai alasan untuk melampaui batas. Memblokir rekening hanya karena pasif selama 3 bulan tanpa analisis mendalam adalah tindakan yang bukan hanya ceroboh secara administratif, tapi juga berbahaya secara politik.

Dalam demokrasi, bukan warga yang harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Justru negara yang wajib membuktikan bahwa setiap intervensinya sah, proporsional, dan tak melanggar hak dasar. Kalau tidak, perlahan tapi pasti, kita sedang menuju era di mana kebebasan tidak dicabut dengan kekerasan, tapi dikebiri lewat prosedur.

Keyword

PPATK, pemblokiran rekening, pengawasan negara, kebebasan ekonomi, kontrol keuangan, otoritarianisme teknokratis, rekening dormant, hak milik warga.
Pemblokiran Rekening Tak Aktif: Gejala Baru Negara Mengawasi Terlalu Jauh? Pemblokiran Rekening Tak Aktif: Gejala Baru Negara Mengawasi Terlalu Jauh? Reviewed by Atallah Daffa Jawahir on Agustus 01, 2025 Rating: 5