Konflik Elit, Provokasi Massa, dan Rakyat yang Menanggung
| Sumber: CNBC Indonesia |
Gelombang demonstrasi besar di Indonesia pada 25–28 Agustus lalu menyisakan pertanyaan fundamental: siapa yang sebenarnya diuntungkan dari kerusuhan ini? Dari jalan-jalan kota besar, layar televisi, hingga media sosial, publik disuguhi gambaran bentrokan, kobaran api, hingga kabar duka tentang Affan—seorang mahasiswa yang tewas dalam aksi. Namun di balik wajah muram rakyat yang kehilangan rasa aman, konflik ini lebih tampak sebagai perseteruan elit yang mengorbankan masyarakat sebagai tameng politik.
Demonstrasi bukanlah hal baru di negeri ini, tetapi intensitas, skala, serta pola provokasinya kali ini patut dicermati lebih jauh. Tidak hanya sekadar aksi bakar ban seperti lazimnya demonstrasi mahasiswa—mereka bergabung dengan massa aksi untuk melakukan tindakan vandalisme, Mereka mendorong massa untuk melakukan tindakan lebih ekstrem: membakar fasilitas umum, merusak gedung DPR, bahkan menghasut untuk menyerang bandara, stasiun, hingga terminal. Skala provokasi ini menunjukkan bahwa kerusuhan telah melampaui batas ekspresi politik rakyat biasa, menjelma menjadi arena konflik yang dikendalikan dari balik layar.
Elit Bertikai, Rakyat Menjadi Perisai
Konferensi pers terakhir Presiden seakan mempertegas arah konflik ini. Alih-alih menghadirkan jajaran keamanan negara seperti Polri, TNI, maupun Menteri Dalam Negeri yang seharusnya ikut bertanggung jawab atas keamanan negeri, yang muncul justru deretan ketua umum partai politik. Pesan simbolisnya jelas: persoalan bangsa ini dipersempit menjadi panggung tawar-menawar politik, bukan urusan melindungi rakyat.
Di sinilah absurditas terjadi. Ketika rakyat di lapangan berhadapan dengan gas air mata, pentungan, hingga risiko kehilangan nyawa, para elit politik hanya tampil di layar kaca dengan narasi yang penuh perhitungan elektoral. Presiden lebih memilih duduk bersama ketua umum partai untuk menjaga stabilitas politik, sementara aparat keamanan—yang tindakannya memicu eskalasi kerusuhan, termasuk dalam kasus kematian Affan—dibiarkan di luar bingkai pertanggungjawaban publik.
Kontradiksi ini membuat publik semakin apatis. Rakyat diseret ke garis depan, bukan untuk memperjuangkan kepentingan mereka sendiri, melainkan menjadi alat tawar-menawar kekuasaan. Sementara elit terus bermain di level wacana dan kalkulasi politik, rakyat menanggung langsung kerusakan fisik, trauma, dan kehilangan nyawa.
Provokasi yang Tersusun Rapi
Jika ditelaah, pola kerusuhan pada demonstrasi kali ini tidak terjadi secara spontan. Narasi provokatif bertebaran di media sosial jauh sebelum aksi pecah, menggiring opini bahwa aksi damai harus berubah menjadi tindakan anarkis agar mendapat perhatian. Seruan membakar fasilitas umum, gedung DPR, hingga bandara dan terminal tidak lahir dari ruang hampa. Ada orkestrasi informasi yang sengaja menyalakan bara emosi.
Di lapangan, pola provokasi itu berulang. Kelompok-kelompok tertentu mendorong massa agar melakukan tindakan destruktif, lalu aparat masuk dengan tindakan represif. Siklus ini berulang dan semakin memperkeruh situasi. Sementara itu, media mainstream sering kali hanya menyorot sisi kekerasan massa, tanpa menggali siapa sebenarnya yang menunggangi kerusuhan ini. Akhirnya publik diarahkan untuk melihat rakyat sebagai biang masalah, padahal pangkal persoalan ada pada elit yang memelihara provokasi.
Polisi, Kekerasan, dan Hilangnya Legitimasi
Kasus kematian Affan menjadi titik gelap yang seharusnya mengguncang legitimasi aparat keamanan. Bagaimana mungkin aparat yang seharusnya melindungi warga justru menjadi pihak yang diduga bertanggung jawab atas hilangnya nyawa? Sayangnya, alih-alih ada pengakuan atau penyelidikan transparan, yang terjadi justru pengalihan isu ke dalam narasi “massa anarkis.”
Padahal, kekerasan aparat bukan fenomena baru. Dari Reformasi 1998 hingga demonstrasi revisi UU KPK pada 2019, catatan kelam tindakan represif Polri selalu berulang. Rakyat yang turun ke jalan menuntut keadilan selalu dibalas dengan peluru karet, gas air mata, bahkan peluru tajam. Kematian Affan hanya menambah daftar panjang korban kekerasan negara yang tidak pernah benar-benar mendapatkan keadilan.
Demokrasi yang Dikorbankan
Demonstrasi adalah wajah nyata demokrasi. Namun, ketika aparat memilih jalan represif, elit politik memelihara provokator, dan media menutupi konteks sebenarnya, demokrasi kehilangan makna substansialnya. Aksi rakyat yang sejatinya merupakan saluran kritik berubah menjadi komoditas politik. Rakyat hanya dipakai sebagai pion dalam permainan elit, sementara substansi tuntutan mereka menguap dalam kabut asap ban terbakar dan gedung yang hangus.
Lebih tragis lagi, kerusuhan ini menempatkan rakyat dalam dilema. Jika mereka diam, suara mereka tidak akan pernah didengar. Jika mereka bersuara, nyawa dan keamanan menjadi taruhannya. Situasi ini membuat ruang demokrasi semakin sempit, hingga akhirnya rakyat belajar satu hal: bahwa politik adalah permainan kotor elit, dan mereka hanya menjadi tumbalnya.
Siapa yang Paling Diuntungkan?
Pertanyaan besar yang tersisa adalah: siapa sebenarnya yang paling diuntungkan dari kerusuhan ini? Elit politik jelas mendapat ruang untuk mengatur ulang posisi tawar mereka. Aparat keamanan, meski mendapat kritik, tetap mempertahankan legitimasi kekuasaan dengan dalih menjaga stabilitas. Media arus utama mendapatkan rating dari liputan dramatis. Namun, rakyat hanya menerima kerugian: luka, trauma, dan kehilangan ruang aman.
Kerusuhan ini seharusnya menjadi cermin bahwa konflik elit selalu berdampak langsung pada rakyat. Tidak ada yang benar-benar peduli pada keamanan warga biasa, karena yang menjadi prioritas adalah stabilitas politik elit. Rakyat hanya diingat ketika mereka bisa dijadikan tameng atau alasan untuk mengerahkan aparat.
Menuntut Pertanggungjawaban
Dalam konteks ini, tuntutan utama bukan hanya mengadili provokator atau pelaku kekerasan di lapangan. Lebih penting dari itu adalah mendesak transparansi negara: mengapa aparat yang jelas-jelas memiliki peran besar dalam eskalasi kerusuhan justru absen dalam konferensi pers presiden? Mengapa elit politik lebih nyaman berdialog dengan sesama elit daripada mempertanggungjawabkan nyawa rakyat yang hilang?
Tanpa transparansi dan pertanggungjawaban, kerusuhan ini hanya akan menjadi bab tambahan dalam siklus panjang kekerasan negara terhadap rakyat. Demokrasi akan terus menjadi panggung semu yang hanya menguntungkan elit.
Penutup
Demonstrasi Agustus 2025 memperlihatkan satu hal yang tidak bisa dibantah: rakyat selalu berada di posisi paling rentan dalam konflik elit. Mereka diprovokasi untuk turun ke jalan, dipaksa menghadapi aparat, lalu ditinggalkan tanpa perlindungan. Sementara itu, elit politik dan aparat justru bersembunyi di balik narasi stabilitas.
Selama struktur politik kita masih menempatkan rakyat sebagai pion dan aparat sebagai alat kekuasaan, kerusuhan akan terus berulang. Affan hanyalah satu nama dari sekian banyak korban. Jika kita tidak menuntut pertanggungjawaban hari ini, daftar korban akan terus bertambah di masa depan.
Keyword
demonstrasi Indonesia Agustus 2025, konflik elite politik, kematian Affan