DARI ALAT KEKUASAAN KOLONIAL KE APARAT REPUBLIK: POLISI MASIH MENJADI ALAT PENINDAS RAKYAT

Persiapan Anggota Polisi untuk 'menertibkan' massa aksi 28 Agustus 2025


Wajah Lama dalam Baju Baru

Sejarah panjang kepolisian di Indonesia memperlihatkan satu pola yang sulit dipatahkan: aparat lebih sering melindungi penguasa ketimbang rakyat. Dari masa kolonial hingga era republik, wajah kekerasan masih melekat kuat.


Polisi dalam sejarah dunia lahir bukan untuk rakyat. Di Romawi kuno, Vigiles dibentuk demi melindungi Kaisar. Di Inggris, konsep modern policing by consent (1829) yang digagas Sir Robert Peel, dalam praktiknya tetap berpihak pada kepentingan elit. Indonesia tidak berbeda: bhayangkara Majapahit menjaga raja, Politietroepen Belanda menekan rakyat jajahan, Keisatsutai Jepang jadi alat penjajahan baru. Setelah proklamasi, Polri diharapkan jadi pelayan rakyat, namun realitas membuktikan: baju berubah, tapi wajah kolonial masih diwarisi.


Pelanggaran yang Tak Pernah Usai

Data yang dirilis berbagai lembaga menunjukkan, Polri masih menjadi aktor utama pelanggaran kebebasan sipil di Indonesia. KontraS mencatat 52 peristiwa pelanggaran hanya dalam semester 1 pada tahun 2025. Amnesty International mendokumentasikan 24 insiden penggunaan kekuatan berlebihan sepanjang 2024, mulai dari pemukulan, penangkapan sewenang-wenang, hingga penggunaan gas air mata yang membabi buta dalam demonstrasi.


Angka korban juga mencengangkan, sedikitnya 1.020 orang menjadi korban kekerasan polisi dalam setahun. Dengan 44 kasus salah tangkap, puluhan luka-luka, dan korban jiwa. Tragedi Kanjuruhan (2022) yang menewaskan lebih dari 135 orang akibat gas air mata, hanyalah salah satu potret kelam yang hingga kini menodai wajah institusi ini.


Tragedi Affan Kurniawan: Simbol Negara Menggilas Rakyatnya

28 Agustus 2025, publik kembali dikejutkan oleh tragedi: Affan Kurniawan (20), driver ojol, tewas terlindas mobil rantis Brimob di tengah aksi massa.


Affan, anak muda kelahiran Tanjung Karang, Bandar Lampung, bekerja sebagai ojol demi menafkahi keluarga yang masih tinggal di kontrakan. Sempat dilarikan ke RSCM, nyawanya tak terselamatkan.


Video di lapangan jelas menunjukkan: mobil rantis melaju kencang dengan sirine, menyasar kerumunan. “Mobil itu benar-benar diarahkan ke pendemo untuk membubarkan massa,” kata Abdul (29), saksi mata. Affan yang tak sempat menghindar, menjadi korban.


Ini bukan kecelakaan. Ini adalah konsekuensi dari kultur kekerasan dalam tubuh Polri yang dibiarkan tanpa koreksi.


ini menambah daftar panjang tragedi di mana rakyat kecil kehilangan nyawa karena aparat yang semestinya melindungi mereka. Peristiwa ini bukan kecelakaan semata, melainkan cermin dari budaya kekerasan yang tak kunjung dihapus dalam tubuh kepolisian.


Polisi untuk Siapa?

Pertanyaan mendasar selalu kembali yaitu polisi bekerja untuk siapa? Untuk penguasa, atau untuk rakyat? Secara konstitusional, Polri diamanatkan sebagai alat negara yang melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat. Tetapi, praktik di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan besar antara ideal dan kenyataan.


Dari represi terhadap demonstrasi, kriminalisasi aktivis, praktik pemerasan, hingga kekerasan fisik yang berujung kematian, Polri lebih sering dipersepsikan sebagai “alat kekuasaan” ketimbang “pelindung rakyat”.


Tanggung Jawab Struktural: Gagal dari Divisi hingga Kapolri

Kekerasan aparat di lapangan tidak bisa hanya dilihat sebagai “kesalahan oknum”. Ada rantai komando dan divisi-divisi yang bertanggung jawab. Satuan Brimob misalnya, berada langsung di bawah kendali komando pusat POLRI. Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) dibentuk untuk mengawasi perilaku aparat, sementara Divisi Humas bertugas menjaga transparansi informasi ke publik.


Ketika kekerasan berulang dari yang paling dekat yaitu kasus Kanjuruhan, hingga tewasnya driver ojol akibat rantis Brimob. Maka persoalannya bukan lagi soal individu, melainkan soal gagalnya kontrol institusional. Divisi-divisi terkait gagal menjalankan fungsi pengawasan dan evaluasi.


Lebih jauh lagi, tanggung jawab utama jatuh pada pucuk pimpinan yaitu Kapolri yang sekarang di jabat oleh Jenderal Pol Drs.Listyo Sigit Prabowo. Jabatan Kapolri bukan hanya seremonial, tetapi simbol komando dan legitimasi atas semua tindakan bawahannya. Jika pola kekerasan terus terjadi, jika korban terus berjatuhan tanpa keadilan, maka wajar bila publik menuntut kewenangan Kapolri untuk dicopot. Sebab, kegagalan struktural adalah cermin dari kegagalan kepemimpinan.


Jalan Panjang Reformasi

Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 1999, Presiden BJ Habibie mengeluarkan instruksi ini untuk memulai pemisahan Polri dari ABRI. Kemudian Dwifungsi ABRI Dihapuskan, Pemisahan ini yang mengakhiri peran militer di ranah sosial-politik dan mengembalikan fokus TNI pada pertahanan dan Polri pada keamanan.


Sejarah panjang polisi yang semula dari alat kolonial hingga aparat republik, seharusnya menjadi cermin agar kita tidak mengulang pola lama yaitu rakyat selalu jadi korban. Tragedi demi tragedi, termasuk kematian driver ojol yang dilindas mobil rantis Brimob, adalah alarm keras bahwa reformasi kepolisian masih jauh panggang dari api.


Jika divisi-divisi pengawas tetap gagal, jika pimpinan tertinggi tetap membiarkan pola kekerasan berulang, maka tuntutan pencopotan Kapolri bukanlah wacana ekstrem, melainkan jalan konstitusional agar POLRI kembali ke khitahnya yaitu pelindung rakyat, bukan penindas rakyat.


Namun, tanggung jawab perubahan bukan hanya di pundak institusi, tetapi juga di tangan masyarakat. Rakyat harus berani bersuara, mendokumentasikan setiap tindak kekerasan, melawan kriminalisasi dengan solidaritas, serta menekan lembaga legislatif dan eksekutif untuk mengawasi kepolisian secara ketat. Tanpa partisipasi aktif masyarakat, polisi akan terus nyaman dalam budaya impunitas.


Dan mari kita jujur, apa artinya slogan “POLRI Presisi” jika yang presisi justru kekerasannya? Apa gunanya jargon “Pelindung dan Pengayom Masyarakat” jika yang dilindungi hanya kursi penguasa, sementara rakyatnya digilas ban rantis? Kalau polisi masih menempatkan rakyat sebagai musuh, maka jangan salahkan rakyat bila suatu saat mereka berhenti percaya bahwa ada bedanya antara hidup di bawah kolonial, atau di bawah republik.


Melawan penindasan aparat bukan sekadar tugas korban, melainkan tugas kita semua. Karena hanya dengan keberanian kolektif, rakyat bisa memaksa polisi berhenti menjadi penjaga singgasana penguasa, dan kembali menjadi apa yang seharusnya dari bhayangkara rakyat, bukan algojo bangsa sendiri.


Keyword

tragedi demonstran ditabrak baracuda, ironi demokrasi Indonesia, kekerasan aparat terhadap rakyat, proklamasi kemerdekaan dan represi

DARI ALAT KEKUASAAN KOLONIAL KE APARAT REPUBLIK: POLISI MASIH MENJADI ALAT PENINDAS RAKYAT DARI ALAT KEKUASAAN KOLONIAL KE APARAT REPUBLIK: POLISI MASIH MENJADI ALAT PENINDAS RAKYAT Reviewed by Atallah Daffa Jawahir on Agustus 29, 2025 Rating: 5