ASEAN di Persimpangan: Rencana ToR dalam Konflik Thailand–Kamboja dan Ujian Prinsip Non-Intervensi


Konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja kembali mengguncang Asia Tenggara. Ribuan pengungsi, puluhan korban jiwa, dan gesekan militer menjadi pemandangan tragis yang kembali muncul setelah lebih dari satu dekade ketegangan semu. Namun, di tengah kabut ketegangan ini, secercah harapan datang dari arah yang tak biasa: ASEAN. Lewat rencana penyusunan Terms of Reference (ToR) dalam pertemuan General Border Committee (GBC), ASEAN mencoba menegosiasikan peran barunya—sebagai pengamat aktif di medan konflik yang selama ini tabu untuk disentuh karena prinsip non-intervensi.

Namun apakah ini titik balik ASEAN menuju komunitas politik yang lebih dinamis, atau sekadar anomali sementara karena tekanan eksternal?


Rencana ToR: Mediasi atau Intervensi?

ToR yang sedang dirumuskan oleh Thailand, Kamboja, dan negara-negara kunci ASEAN seperti Malaysia dan Vietnam, mencakup beberapa poin penting: pembentukan tim pengamat ASEAN, patroli perbatasan bersama, verifikasi lapangan atas pelanggaran gencatan senjata, dan pengumpulan bukti dugaan pelanggaran HAM.

Secara kasat mata, ini hanyalah prosedur teknis. Namun dalam lanskap normatif ASEAN, di mana prinsip non-intervensi menjadi batu penjuru sejak pembentukan organisasi ini pada 1967, penyusunan ToR seperti ini bisa jadi menandai perubahan paradigma. Sebab, inilah pertama kalinya ASEAN mengonsolidasikan mekanisme pemantauan konflik bersenjata antarsesama anggota, dengan otorisasi terbuka dari kedua negara yang terlibat.

Prinsip Non-Intervensi: Penghalang atau Penjaga Keseimbangan?

Prinsip non-intervensi dalam ASEAN selama ini berfungsi ganda: sebagai tameng dan sebagai penjara.

Di satu sisi, ia mencegah aktor luar ikut campur dalam urusan domestik negara anggota, seperti dalam krisis Myanmar, sengketa Laut Natuna, atau pelanggaran HAM di Filipina. Di sisi lain, prinsip ini juga menghambat ASEAN untuk mengambil tindakan nyata ketika konflik menyentuh dimensi regional. Hasilnya adalah organisasi yang dikenal lamban, defensif, dan minim nyali dalam menyikapi konflik internal.

Rencana ToR dalam konflik Thailand–Kamboja menciptakan celah konstitusional dalam prinsip ini. Karena kedua pihak secara eksplisit mengundang ASEAN masuk sebagai pengamat dan fasilitator, maka non-intervensi dalam hal ini tidak dilanggar, melainkan disesuaikan. Ini membuka ruang untuk konsep baru: intervensi atas dasar konsensus dan transparansi.


Skema Skenario: Arah ASEAN Setelah ToR

Best Case Scenario: ASEAN Menjadi Pengamat Efektif dan Disiplin Kolektif Terbentuk

Jika ToR disepakati dan dijalankan secara efektif, ASEAN dapat menciptakan precedent kuat untuk menjadi pengamat sah dalam konflik antarsesama negara anggota. Keberhasilan ini akan:

  • Menambah legitimasi politik ASEAN di mata dunia.
  • Menguatkan semangat preventive diplomacy dan early warning system.
  • Mendorong terbentuknya unit tetap pemantauan konflik di bawah ASEAN Political-Security Community.

Lebih jauh, ToR ini bisa menjadi batu loncatan untuk reformasi prinsip non-intervensi menjadi “non-interference but cooperative engagement”—sebuah tafsir yang lebih adaptif terhadap kompleksitas kontemporer.

Worst Case Scenario: ToR Gagal dan ASEAN Kembali Ke Pasifisme Normatif

Namun risiko tetap mengintai. Jika proses ToR ini macet akibat tarik-ulur politis atau pelanggaran gencatan senjata berulang, ASEAN akan terlihat tidak lebih dari penonton bertanggung jawab. Ini justru memperkuat persepsi bahwa ASEAN lemah, bahkan saat diberi mandat.

Kegagalan juga berpotensi memecah konsensus internal ASEAN. Negara-negara seperti Laos dan Myanmar bisa menolak partisipasi aktif ASEAN dalam konflik serupa di masa depan, menuduh adanya "preseden intervensi terselubung". Akibatnya, prinsip non-intervensi bukan hanya stagnan, tapi menjadi instrumen pelumpuh.

Tidak bisa dipungkiri, keberhasilan langkah ASEAN kali ini juga didorong oleh tekanan dari luar. Amerika Serikat, Tiongkok, bahkan Donald Trump, semuanya memainkan peran penting dalam mendorong gencatan senjata dan membuka ruang dialog. Dengan sorotan global tertuju ke Asia Tenggara, ASEAN terpaksa—atau terdorong—untuk bertindak lebih proaktif.

Namun justru di sinilah pentingnya ToR sebagai instrumen regional. ASEAN perlu membuktikan bahwa kawasan ini mampu menyelesaikan persoalannya sendiri, tanpa ketergantungan permanen pada kekuatan eksternal.


Momentum Menuju ASEAN yang Adaptif?

ToR bukanlah solusi akhir. Ia hanya alat. Namun alat ini, jika diasah dan digunakan dengan tepat, bisa mengubah ASEAN dari komunitas kebijakan menjadi komunitas aksi. Tantangannya ada pada keberanian negara-negara anggota untuk meninjau ulang makna non-intervensi, dari doktrin pasif menjadi prinsip dinamis—yang melindungi kedaulatan, sekaligus mendorong tanggung jawab kolektif.

Konflik Thailand–Kamboja bukan hanya ujian bagi dua negara, tapi juga cermin bagi ASEAN: apakah akan tetap nyaman dalam kebisuannya, atau mulai membuka ruang untuk diplomasi yang lebih hidup dan relevan? Karena di masa depan, konflik mungkin tidak menunggu konsensus. Tapi sejarah akan selalu mencatat siapa yang memilih diam, dan siapa yang memilih hadir.

Keyword

Konflik Thailand Kamboja 2025, ASEAN dan prinsip non-intervensi, ToR ASEAN Thailand Kamboja, Peran ASEAN dalam konflik perbatasan, General Border Committee ASEAN

ASEAN di Persimpangan: Rencana ToR dalam Konflik Thailand–Kamboja dan Ujian Prinsip Non-Intervensi ASEAN di Persimpangan: Rencana ToR dalam Konflik Thailand–Kamboja dan Ujian Prinsip Non-Intervensi Reviewed by Atallah Daffa Jawahir on Agustus 03, 2025 Rating: 5