Efisiensi atau Pemborosan? Polemik Kenaikan Tunjangan DPR di Indonesia
![]() |
Bentuk ekspresif anggota DPR saat rapat parlemen kenaikkan tunjangan anggota DPR RI, 15 Agustus 2025 Sumber gambar |
Wacana kenaikan gaji anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali memicu perdebatan publik. Di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan, isu ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah kenaikan gaji tersebut benar-benar mencerminkan kebutuhan institusional untuk meningkatkan kinerja legislatif, atau sekadar memperlihatkan jarak yang semakin melebar antara elite politik dengan masyarakat yang mereka wakili? Tulisan ini mencoba mengurai polemik tersebut melalui konteks sosial-politik, argumentasi pemerintah dan DPR, analisis kritis, serta refleksi akhir mengenai arah kebijakan publik di Indonesia.
Konteks Sosial dan Politik: Timing yang Tidak Tepat
Salah satu faktor yang membuat isu kenaikan gaji DPR menjadi sensitif adalah waktu kemunculannya. Indonesia saat ini tengah menghadapi tekanan ekonomi yang signifikan: harga bahan pokok terus naik, tingkat inflasi menggerus daya beli masyarakat, dan ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menghantui banyak sektor. Di tengah kondisi tersebut, masyarakat justru dipaksa menyaksikan elite politik membicarakan peningkatan kesejahteraan diri mereka sendiri.
Timing ini menciptakan kesan paradoks. Di satu sisi, DPR mengklaim dirinya sebagai representasi rakyat, tetapi di sisi lain langkah menaikkan gaji dianggap sebagai bentuk ketidakpekaan terhadap kesulitan masyarakat. Tidak mengherankan jika muncul narasi bahwa DPR lebih sibuk memperjuangkan kepentingan internal dibanding memperbaiki kebijakan publik yang menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat.
Kritik semakin tajam ketika kita menengok sejarah. Setiap kali wacana kenaikan gaji DPR muncul, selalu terjadi resistensi publik yang kuat. Namun, pola yang sama berulang: argumentasi efisiensi birokrasi dan kesejahteraan anggota tetap dijadikan alasan formal. Dengan demikian, penolakan publik saat ini bukan semata-mata reaksi emosional, melainkan akumulasi ketidakpercayaan terhadap elite politik yang dianggap gagal membaca kondisi sosial-ekonomi masyarakat.
Argumentasi DPR dan Pemerintah: Antara Rasionalitas dan Retorika
Secara resmi, ada beberapa argumen yang kerap digunakan untuk membenarkan kenaikan gaji DPR. Pertama, argumen beban kerja: anggota DPR mengemban tanggung jawab besar dalam hal legislasi, pengawasan, dan anggaran, sehingga wajar jika kesejahteraannya ditingkatkan. Kedua, argumen daya tarik profesi: gaji yang lebih tinggi diyakini dapat mencegah praktik korupsi dan menarik figur-figur berkualitas untuk masuk ke dunia politik. Ketiga, argumen kesetaraan institusional: DPR merasa perlu menyesuaikan tingkat kesejahteraan dengan lembaga tinggi negara lain, agar tidak menimbulkan disparitas.
Sekilas, argumen ini terdengar rasional. Namun, masalahnya terletak pada kurangnya transparansi dalam menjelaskan indikator kinerja DPR yang sebanding dengan kenaikan gaji. Jika ukuran produktivitas dan efektivitas DPR masih dipertanyakan—misalnya rendahnya kualitas legislasi, absensi tinggi dalam sidang, dan keterbatasan pengawasan terhadap eksekutif—maka wajar bila publik skeptis terhadap legitimasi kebijakan tersebut.
Dengan kata lain, argumen rasional yang digunakan pemerintah dan DPR seringkali jatuh menjadi retorika belaka. Rasionalitas ekonomi yang mereka bicarakan tidak berjalan seiring dengan kenyataan politik yang dirasakan rakyat.
Efisiensi atau Sekadar Legitimasi Politik?
Pertanyaan kunci yang perlu diajukan adalah: apakah kenaikan gaji DPR benar-benar berhubungan dengan efisiensi kinerja atau hanya berfungsi sebagai legitimasi politik?
Dari sisi efisiensi, sulit menemukan bukti empiris bahwa peningkatan gaji berbanding lurus dengan peningkatan kualitas kerja anggota DPR. Banyak penelitian di bidang politik dan administrasi publik justru menunjukkan bahwa faktor integritas, akuntabilitas, dan sistem pengawasan jauh lebih menentukan dibanding sekadar insentif finansial. Bahkan, dalam konteks Indonesia, kenaikan gaji pejabat tidak otomatis menurunkan praktik korupsi. Kasus suap, gratifikasi, dan penyalahgunaan wewenang tetap marak meski gaji pejabat relatif tinggi dibanding rata-rata masyarakat.
Di sisi lain, jika dilihat dari aspek politik, kebijakan kenaikan gaji dapat dibaca sebagai strategi legitimasi. Pertama, legitimasi internal: langkah ini memperkuat posisi elite DPR di dalam institusinya sendiri dengan memberikan insentif material. Kedua, legitimasi eksternal: DPR mencoba menunjukkan bahwa dirinya setara dengan lembaga tinggi negara lain dalam hal kesejahteraan, meski hal ini justru mempertegas kesan elitis. Ketiga, legitimasi simbolik: kebijakan ini dipakai untuk menegaskan narasi bahwa politik adalah profesi bergengsi yang harus dihargai setara dengan profesi strategis lainnya.
Dengan demikian, alih-alih mendorong efisiensi, kebijakan ini lebih banyak menunjukkan upaya untuk memperkuat kenyamanan dan citra diri para elite. Kenaikan gaji lebih mudah dibaca sebagai bagian dari manuver politik untuk melanggengkan privilese, bukan sebagai solusi sistemik bagi problem kinerja parlemen.
Efek paling nyata dari kebijakan ini adalah semakin terkikisnya trust publik terhadap DPR. Dalam demokrasi, legitimasi institusi politik sangat bergantung pada kepercayaan rakyat. Ketika rakyat melihat wakilnya lebih sibuk memperjuangkan hak finansial ketimbang memperjuangkan kesejahteraan umum, maka jurang ketidakpercayaan makin melebar.
Lebih jauh, ini juga dapat menciptakan efek domino. Pertama, mendorong apatisme politik, di mana masyarakat enggan terlibat dalam proses demokrasi karena menganggap politik hanyalah arena perebutan privilese. Kedua, memperbesar risiko polarisasi sosial, di mana elite dianggap hidup di “menara gading” yang jauh dari realitas rakyat. Ketiga, membuka ruang delegitimasi sistem demokrasi itu sendiri, karena publik tidak lagi merasa memiliki keterhubungan dengan wakilnya di parlemen.
Sebuah Refleksi
Kenaikan gaji DPR pada saat ini bukanlah langkah yang tepat. Argumentasi efisiensi dan beban kerja tidak cukup kuat tanpa disertai transparansi dan bukti nyata peningkatan kinerja. Di sisi lain, jika kita melihat pola politik di Indonesia, kebijakan semacam ini lebih dekat pada upaya memperkuat posisi elite dibanding menjawab kebutuhan masyarakat.
Harus diakui, profesi politik memang membutuhkan insentif yang layak. Namun, pertanyaan yang lebih fundamental adalah: siapa yang harus didahulukan dalam situasi ekonomi sulit seperti sekarang—rakyat yang sedang berjuang dengan kebutuhan pokok, atau elite politik yang sudah memiliki berbagai fasilitas negara? Jawaban moral dan politiknya jelas: rakyat seharusnya menjadi prioritas utama.
Kenaikan gaji DPR, tanpa mekanisme akuntabilitas dan transparansi yang jelas, hanya akan memperkuat citra buruk politik Indonesia. Jika DPR ingin benar-benar meningkatkan legitimasinya, langkah yang lebih tepat adalah memperbaiki kualitas legislasi, meningkatkan kedisiplinan dalam sidang, memperkuat fungsi pengawasan terhadap pemerintah, dan membuka diri pada transparansi anggaran. Dengan begitu, legitimasi publik akan tumbuh secara alami, tanpa harus dibeli dengan kenaikan gaji.
Polemik kenaikan gaji DPR sesungguhnya bukan sekadar soal angka, tetapi soal kepercayaan. Di tengah kesenjangan sosial-ekonomi, kebijakan ini mempertegas kesenjangan politik antara rakyat dan wakilnya. Maka, yang dipertaruhkan bukan hanya APBN atau fasilitas tambahan bagi anggota DPR, melainkan keberlanjutan legitimasi demokrasi itu sendiri.
Pada akhirnya, masyarakat berhak menuntut agar DPR kembali ke esensi peranannya: memperjuangkan kepentingan rakyat, bukan memperbesar kenyamanan elite. Jika tidak, demokrasi Indonesia berisiko berubah menjadi panggung oligarki yang sah secara prosedural, tetapi miskin makna substanti
Keyword
Kenaikan tunjangan DPR, Efisiensi Anggaran, Anggaran DPR RI, Legitimasi Politik, Politik Indonesia
