Konflik Thailand–Kamboja Pasca Mediasi Malaysia: Damai Rapuh di Tengah Ancaman Eskalasi

Gambar diambil dari sumber ini

Konflik perbatasan Thailand–Kamboja kembali menjadi sorotan internasional pada pertengahan 2025. Meski mediasi yang difasilitasi Malaysia berhasil membawa kedua negara ke meja perundingan dan menghasilkan gencatan senjata pada 29 Juli 2025, perkembangan terbaru menunjukkan perdamaian ini masih rapuh. Insiden ranjau darat yang melukai prajurit Thailand, tuduhan pelanggaran perjanjian, serta keterlibatan kekuatan eksternal seperti ASEAN dan China, menjadi faktor penentu apakah konflik ini akan mereda atau kembali memanas.


Latar Belakang Konflik

Perseteruan Thailand dan Kamboja berakar dari sengketa wilayah di sekitar kuil Preah Vihear dan Ta Moan Thom, yang telah memicu bentrokan bersenjata sejak awal abad ke-21. Sengketa ini melibatkan interpretasi berbeda atas peta kolonial Prancis dan keputusan Mahkamah Internasional pada 1962.


Meskipun terdapat beberapa kali gencatan senjata, ketegangan kerap muncul kembali, terutama di musim kemarau saat mobilitas pasukan meningkat. Perbatasan provinsi Preah Vihear, Oddar Meanchey, dan Banteay Meanchey menjadi titik panas yang berulang kali memicu konfrontasi militer.



Peran Mediasi Malaysia

Upaya mediasi yang dipimpin Malaysia pada akhir Juli 2025 menjadi titik balik penting dalam dinamika konflik ini. Sebagai bagian dari mandat ASEAN, Malaysia berhasil mempertemukan delegasi militer dan diplomatik kedua negara di meja perundingan. Hasilnya adalah kesepakatan gencatan senjata tanpa syarat yang mulai berlaku pada 29 Juli 2025, disertai pembentukan jalur komunikasi militer langsung untuk menghindari kesalahpahaman di lapangan.


Tak berhenti di situ, kedua pihak juga bersepakat untuk mengadakan pertemuan lanjutan di luar zona sengketa guna membahas penyelesaian jangka panjang. Sejak 7 Agustus 2025, pengamat ASEAN yang dipimpin Malaysia mulai ditempatkan di lapangan, memantau pelaksanaan gencatan senjata secara langsung (Reuters, 07/08/2025). Laporan inspeksi pada 14 Agustus 2025 di desa Prey Chan menunjukkan bahwa sejumlah sektor perbatasan relatif tenang, meskipun tanda-tanda kerentanan tetap terlihat di wilayah-wilayah rawan bentrokan (UCA News, 14/08/2025). Langkah ini dipuji oleh komunitas internasional sebagai momentum positif untuk meredakan konflik. 


Insiden Ranjau Darat: Tantangan Gencatan Senjata

Ketenangan yang mulai terasa di beberapa titik perbatasan segera diguncang oleh insiden ranjau darat. Pada 9 Agustus 2025, tiga tentara Thailand terluka ketika sebuah ranjau meledak di dekat garis batas. Hanya tiga hari kemudian, 12 Agustus 2025, seorang tentara Thailand mengalami luka serius akibat ledakan ranjau di sekitar kuil Ta Moan Thom, wilayah Surin (Reuters, 12/08/2025)..


Pemerintah Thailand dengan cepat menuduh Kamboja melanggar Konvensi Ottawa yang melarang penggunaan ranjau anti-personel. Namun, Kamboja membantah tuduhan itu dan menegaskan bahwa ranjau tersebut kemungkinan besar adalah sisa peninggalan konflik lama. Perbedaan pandangan ini menambah tantangan bagi pengamat ASEAN, yang kini harus memastikan bahwa investigasi atas insiden semacam ini dapat dilakukan secara transparan dan diterima oleh kedua pihak.


Thailand menuduh Kamboja melanggar Konvensi Ottawa yang melarang penggunaan ranjau anti-personel. Kamboja membantah tuduhan itu, menyatakan ranjau tersebut kemungkinan peninggalan konflik lama.



China Masuk Arena Diplomasi

Keterlibatan China dalam konflik ini bukan sekadar langkah diplomatis biasa, melainkan bagian dari strategi geopolitik yang lebih luas. Pada 14 Agustus 2025, Beijing secara resmi menawarkan bantuan mediasi, fasilitasi dialog, dan program pembersihan ranjau darat.


Ada beberapa faktor yang mendorong langkah ini. Pertama, China memiliki kepentingan ekonomi yang besar di kedua negara, termasuk investasi infrastruktur dan perdagangan lintas batas. Stabilitas perbatasan berarti kelancaran jalur logistik darat yang menghubungkan jalur perdagangan selatan China dengan pasar ASEAN. Kedua, keterlibatan dalam penyelesaian konflik ini memberi Beijing citra sebagai penjamin perdamaian kawasan, memperkuat posisinya di tengah rivalitas pengaruh dengan Amerika Serikat di Asia Tenggara. Ketiga, isu ranjau darat memberikan peluang bagi China untuk memanfaatkan keunggulan teknologinya dalam pembersihan bahan peledak, sebuah langkah yang bisa meningkatkan citra positifnya di mata publik regional. 


Dengan kata lain, masuknya China ke arena diplomasi dalam konflik Thailand–Kamboja adalah kombinasi antara kepentingan strategis, peluang ekonomi, dan upaya memperluas pengaruh politik di Asia Tenggara. (Reuters, 14/08/2025).


Langkah ini mempertegas peran Beijing sebagai aktor penting di kawasan Asia Tenggara, sekaligus memberi sinyal bahwa stabilitas perbatasan Thailand–Kamboja juga terkait dengan kepentingan geopolitik regional.


Analisis Skenario ke Depan

1. Skenario Positif – Perdamaian Permanen

Dalam skenario ini, gencatan senjata yang diinisiasi pada 29 Juli 2025 menjadi fondasi untuk membangun perjanjian perbatasan jangka panjang. Keberhasilan pengamat ASEAN dalam menjaga disiplin gencatan senjata akan menjadi indikator utama. Peran Malaysia sebagai mediator tetap krusial, mengingat posisinya yang relatif netral di antara kedua negara.


Kerja sama ekonomi lintas batas seperti perdagangan hasil pertanian, pembangunan infrastruktur bersama di wilayah sengketa, dan program pembersihan ranjau secara terintegrasi dapat memperkuat kepercayaan. Dukungan China dalam bentuk bantuan teknis, diplomasi, dan investasi bisa menjadi katalis stabilitas, meski harus diimbangi dengan keterlibatan aktif ASEAN untuk menghindari ketergantungan politik pada satu pihak.


2. Skenario Negatif – Eskalasi Ulang

Jika insiden ranjau tidak segera diinvestigasi secara transparan dan kredibel, ketidakpercayaan dapat berkembang menjadi tuduhan publik dan retorika nasionalis. Dalam situasi ini, tekanan politik domestik di kedua negara bisa mendorong pemerintah untuk mengambil sikap keras demi menjaga dukungan publik. Konflik bersenjata skala terbatas di sekitar kuil Preah Vihear atau Ta Moan Thom berpotensi memicu intervensi militer lebih luas.


Faktor pemicu lain adalah kegagalan jalur komunikasi militer yang dibentuk pasca mediasi, sehingga salah paham di lapangan berubah menjadi bentrokan yang sulit dikendalikan. Jika ini terjadi, ASEAN akan menghadapi ujian berat karena kegagalan menjaga perdamaian dapat mengikis kredibilitasnya di mata internasional.

3. Skenario Menengah – Damai Rapuh

Skenario ini adalah yang paling realistis untuk jangka pendek. Gencatan senjata bertahan, tetapi hubungan bilateral tetap dingin. Insiden kecil, seperti pelanggaran wilayah atau ledakan ranjau sisa konflik lama, masih terjadi namun dapat diredam melalui mekanisme diplomasi darurat. Kedua negara mungkin akan menghindari konfrontasi besar demi stabilitas ekonomi, namun enggan membuat konsesi signifikan dalam negosiasi perbatasan.


Peran pengamat ASEAN akan lebih mirip “penjaga pagar” daripada mediator aktif, sementara China tetap memanfaatkan momen ini untuk memperluas pengaruh diplomatiknya melalui proyek-proyek pembangunan di wilayah perbatasan. Dalam skenario ini, perdamaian hanya bertahan selama kedua pihak menilai biaya perang lebih tinggi daripada manfaat politik jangka pendek.



Implikasi Regional

Konflik perbatasan Thailand–Kamboja bukan sekadar persoalan bilateral; ia adalah cerminan kerentanan geopolitik Asia Tenggara. Keberhasilan atau kegagalan penyelesaiannya akan memberi pesan kuat mengenai sejauh mana ASEAN mampu berfungsi sebagai mekanisme penyelesaian damai di kawasan.


Jika gencatan senjata ini mampu dikelola hingga menuju kesepakatan perbatasan permanen, ASEAN akan mendapatkan modal kepercayaan yang besar. Ini dapat memperkuat posisi organisasi dalam menghadapi sengketa-sengketa lain, seperti Laut Cina Selatan atau konflik internal Myanmar. ASEAN akan dapat menunjukkan bahwa “centrality”-nya bukan sekadar jargon diplomatik, melainkan kapasitas nyata untuk mengelola konflik. Keberhasilan ini juga akan meningkatkan daya tawar ASEAN di forum global, terutama dalam kemitraan strategis dengan kekuatan besar seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, dan tentu saja China.


Namun, kegagalan untuk meredam ketegangan akan memperlihatkan keterbatasan mendasar ASEAN: ketergantungan pada konsensus yang sering kali membuat respons lambat dan tidak tegas. Jika eskalasi kembali terjadi, kepercayaan publik terhadap ASEAN dapat merosot, dan negara-negara anggota mungkin akan lebih mengandalkan aliansi atau kemitraan luar kawasan untuk menjamin keamanan mereka. Hal ini berpotensi memicu fragmentasi solidaritas ASEAN, yang pada gilirannya membuka pintu lebih lebar bagi campur tangan pihak eksternal.


Keterlibatan China dalam isu ini membawa implikasi ganda. Di satu sisi, Beijing dapat membantu mengurangi ketegangan dengan menawarkan dukungan finansial dan teknis, seperti proyek pembersihan ranjau atau pembangunan infrastruktur lintas batas. Di sisi lain, masuknya China ke arena diplomasi juga dapat menggeser pusat gravitasi penyelesaian konflik dari mekanisme ASEAN ke orbit kepentingan strategis Beijing. Bagi sebagian pihak, ini adalah peluang untuk memanfaatkan kompetisi geopolitik demi keuntungan ekonomi; bagi pihak lain, ini adalah ancaman terhadap otonomi politik kawasan.


Lebih jauh, konflik ini dapat menjadi laboratorium bagi keseimbangan kekuatan di Asia Tenggara: apakah keamanan kawasan akan tetap dijaga oleh konsensus internal ASEAN, atau justru semakin bergantung pada kekuatan besar yang memiliki agenda jangka panjang. Dengan kata lain, arah penyelesaian konflik Thailand–Kamboja bukan hanya menentukan nasib perbatasan kedua negara, tetapi juga menjadi indikator arah masa depan keamanan regional.



Kesimpulan

Konflik perbatasan Thailand–Kamboja pada pertengahan 2025 memperlihatkan bahwa perdamaian di kawasan ini bukanlah sesuatu yang dapat diambil begitu saja. Gencatan senjata hasil mediasi Malaysia dan pengawasan ASEAN adalah langkah penting, namun belum cukup untuk menjamin stabilitas jangka panjang. Insiden ranjau darat menjadi pengingat bahwa luka sejarah dan ketidakpercayaan masih membayangi hubungan kedua negara.


Skenario yang terbentang ke depan menunjukkan tiga kemungkinan: dari perdamaian permanen yang bertumpu pada kerja sama ekonomi dan diplomasi, hingga eskalasi ulang yang bisa mengguncang kredibilitas ASEAN dengan skenario damai rapuh sebagai jalur yang paling realistis saat ini. Semua bergantung pada sejauh mana kedua pihak mampu memprioritaskan kepentingan rakyatnya di atas ego politik dan retorika nasionalis.


Implikasi regional dari konflik ini jauh melampaui garis perbatasan. Keberhasilan ASEAN mengelola krisis akan memperkuat posisinya sebagai penjamin stabilitas kawasan, sementara kegagalannya akan membuka ruang bagi kekuatan eksternal, terutama China, untuk mengambil peran dominan. Di sini, penulis memandang bahwa keseimbangan antara keterlibatan China dan peran sentral ASEAN adalah kunci, namun tanpa koordinasi yang matang kawasan ini berisiko kehilangan kendali atas mekanisme penyelesaian konfliknya sendiri.


Sebagai penulis, saya menilai momentum ini harus dimanfaatkan untuk membangun kepercayaan yang lebih dalam melalui langkah-langkah konkret: investigasi bersama terhadap insiden ranjau, perluasan kerja sama ekonomi lintas batas, dan penguatan mandat pengamat ASEAN. Perdamaian sejati hanya akan lahir jika diplomasi tidak berhenti di meja perundingan, tetapi juga diterjemahkan ke dalam tindakan nyata di lapangan.


Keyword

Konflik Thailand-Kamboja 2025, konflik regional ASEAN, Insiden ranjau, mediasi Malaysia ASEAN, peran China dalam konflik Thailand Kamboja 2025, sengketa perbatasan Thailand Kamboja

Konflik Thailand–Kamboja Pasca Mediasi Malaysia: Damai Rapuh di Tengah Ancaman Eskalasi Konflik Thailand–Kamboja Pasca Mediasi Malaysia: Damai Rapuh di Tengah Ancaman Eskalasi Reviewed by Atallah Daffa Jawahir on Agustus 14, 2025 Rating: 5