Dunia Pecah di Meja Dagang: Implikasi Jangka Panjang Perang Tarif AS-Tiongkok

Perang dagang AS-Tiongkok kembali memanas pada 2025. Setelah di beberapa artikel sebelumnya membahas perang dagang AS. Artikel ini merupakan lanjutan dengan mengulas dampak jangka panjangnya terhadap ekonomi global, deglobalisasi, dan absurditas diplomasi perdagangan internasional.

Jika dunia adalah meja makan, maka perang dagang adalah sepasang tamu kaya raya yang saling lempar piring. Dan sisanya? Negara-negara berkembang duduk diam, berharap tidak terkena pecahan sambil tetap menyuap nasi dari sudut meja. Ya, kira-kira seperti itulah absurditas yang mewarnai babak baru konflik tarif antara Amerika Serikat dan Republik Rakyat Tiongkok di tahun 2025.

Kembali menghidupkan semangat proteksionisme era Trump, pemerintahan Biden yang tadinya berhati-hati kini ikut menabuh genderang. Tarif dinaikkan untuk berbagai produk strategis asal Tiongkok, termasuk kendaraan listrik, semikonduktor, dan teknologi hijau. Sementara itu, Beijing menyusun langkah-langkah balasan—diam-diam, tentu saja, karena bahkan dalam perang, etika harus dijaga, bukan?

Deglobalisasi: Kata Kunci dari Zaman Baru

Di tengah konflik ini, kita melihat satu tren besar yang mulai jadi norma: deglobalisasi. Setelah tiga dekade globalisasi disanjung seperti dewa penyelamat ekonomi, kini negara-negara justru mulai menutup diri. Rantai pasok global yang dulu fleksibel kini dilihat terlalu rentan. Negara-negara berlomba membuat sendiri barang-barang vitalnya—atau setidaknya, hanya mempercayakan produksi pada "teman dekat".

Apakah ini kebangkitan nasionalisme ekonomi atau hanya paranoid geopolitik berkedok kemandirian?

Fragmentasi Ekonomi Dunia: Dunia Bukan Lagi Satu

Blok-blok ekonomi mulai terbentuk secara lebih eksplisit. Di satu sisi ada AS dan sekutunya, menggandeng Eropa dan Indo-Pasifik yang patuh. Di sisi lain ada Tiongkok dengan BRICS+ dan negara-negara Global South yang menawarkan alternatif "tanpa syarat" dan minim ceramah soal HAM.

Perang dagang ini bukan hanya tentang tarif. Ia adalah deklarasi bahwa kerja sama global kini punya batas ideologis. Dan jika dulu kita bicara "ekonomi dunia", sekarang kita bicara "ekonomi dunia versi siapa?"

Ironi Diplomasi Dagang: Ketika yang Dibicarakan Adalah Perdagangan, Tapi yang Dimainkan Adalah Kuasa

Diplomasi perdagangan hari ini lebih mirip pertunjukan sandiwara. Pertemuan WTO, forum G20, hingga APEC penuh dengan jargon kerja sama dan pembangunan inklusif. Tapi di belakang layar, kesepakatan perdagangan bebas dicoret, perjanjian tarif ditunda, dan ekspor bahan baku disandera atas nama kepentingan nasional.

Sebagai contoh, larangan ekspor mineral langka oleh Tiongkok tidak diumumkan sebagai tindakan balasan, tapi sebagai langkah menuju keberlanjutan dan perlindungan lingkungan. Tentu saja, karena siapa pun tahu: cara paling elegan untuk membalas pukulan adalah dengan menyebutnya pelukan.

Negara Berkembang: Panggung atau Penonton?

Bagi negara seperti Indonesia, perang dagang ini menawarkan ambiguitas. Di satu sisi, ada peluang masuknya investasi baru yang mencari alternatif dari Tiongkok. Di sisi lain, ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan ketidakstabilan pasar global bisa menjadi bom waktu.

Apakah Indonesia bisa naik panggung dan jadi pemain kunci dalam reruntuhan sistem global ini? Atau hanya akan tetap jadi penonton yang setia, bersorak ketika pemain besar menang, dan diam ketika tersikut?


Referensi dan Bacaan Lanjutan:


Tagar

#PerangDagang #UnitedNations #WTO #APEC #TarifProteksionisme