Kebijakan dagang baru Amerika Serikat, yang menetapkan tarif baru terhadap barang dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia telah mengguncang ekonomi global. Ketegangan geopolitik dan perubahan arah perdagangan menuntut negara-negara berkembang untuk merumuskan strategi baru dalam menjaga ketahanan ekonominya.
Kebijakan Proteksionisme Dagang AS
Pada awal April 2025, Presiden Donald Trump Kembali menerapkan tarif tinggi untuk produk dari negara-negara Asia Tenggara untuk menekan deficit perdagangan Amerika Serikat. Kebijakan ini memicu ketidakpastian pasar global dan berisiko memperlambat pertumbuhan ekonomi banyak negara.
Jika kita melihat dalam sudut pandang Neorealisme, Trump berusaha menekan anarki system internasional, persaingan antarnegara, dan upaya mempertahankan kekuasaan dan keamanan nasional. Neorealis berfokus pada struktur system internasional (bukan perilaku individu negara) sebagai factor Utama yang memengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.
Baca selengkapnya: https://www.antaranews.com/berita/4751781/apa-itu-kebijakan-tarif-trump-dan-bagaimana-dampaknya-bagi-indonesia
Dengan kebijakan penerapan tarif tinggi terhadap barang dari Asia - dapat dibaca sebagai respon terhadap pergeseran kekuatan global. Dari sudut pandang neorealisme, kebijakan ini mencerminkan:
a. Perebutan Dominasi Ekonomi Global
Trump melihat kebangkitan ekonomi China dan meningkatkan pengaruh Asia Tenggara sebagai ancamana terhadap dominasi AS dalam system internasional. Dominasi ini yang berusaha diputus untuk menghalangi negara lain mendekati level kekuatan AS (balance of power)
b. Self-Help dalam Sistem Anarkis
Tanpa adanya otoritas global yang mengatur perdagangan secara adil, negara akan bertindak unilateral untuk melindungi kepentingannya. kebijakan tarif tinggi terhadap negara pesaing adalah wujud dari prinsip self-help, dimana AS berusaha mengurangi ketergantungan terhadap impor dan menghidupkan Kembali industry domestik.
c. Strategi untuk Menekan Negara Pesaing
Trump memanfaatkan kekuatan ekonomi AS sebagai alat untuk memaksa konsesi dagang dari negara-negara mitra, termasuk China, Vietnam, dan bahkan Indonesia. Dalam pandangan neorealis kekuatan (power) adalah instrument Utama dalam hubungan internasional, dan tekanan ekonomi adalah bentuk soft power yang bersifat koersif.
Neorealisme percaya bahwa negara lebih peduli pada keuntungan relative (relative gains) dibandingkan keuntungan absolut. Trump menganggap kesepakatan dagang lama cenderung lebih menguntungkan negara lain. Maka kebijakan proteksionis dibuat untuk memastikan bahwa AS tidak dirugikan secara relaitf- meskipun secara absolut, seluruh pihak bisa saja diuntungkan.
Trump menolak pendekatan globalis dan multilateral seperti WTO, NAFTA, dan Trans-Pacific Partnership (TPP). Ini sejalan dengan pandangan neorealis bahwa Lembaga internasional tidak mampu mengatasi ketidakseimbangan kekuatan, dan negara besar harus bertindak secara unilateral demi menjaga posisi dominannya. Kebijakan Dagang Trump bukan sekadar Tindakan ekonomi, melainkan refleksi dari politik kekuasaan dalam system internasional. Dalam kerangka neorealisme, kebijakan ini bertujuan untuk:
- Memperkuat posisi strategis AS
- Mencegah kebangkitan kekuatan baru seperti China
- Menjaga kestabilan internal AS sebagai bentuk survival state
- Mengendalikan struktur system internasional demi keuntungan nasional.
Dengan kata lain, Trump bukan hanya berbisnis, tapi sedang "berpolitik luar negeri" dengan cara neorealis--menggunakan kekuatan ekonomi untuk mempertahankan posisi Amerika di puncak tatanan global.
Lihat juga https://studihi.com/neorealisme-hubungan-internasional/
Respon Indonesia atas kebijakan Proteksionis:
Indonesia mengambil beberapa Langkah konkret untuk mengurangi dampak kebijakan AS:
Disverifikasi pasar ekspor ke Timur Tengah, Afrika dan Eropa Timur untuk mencari mitra sebagai bentuk perlindungan aktivitas perdagangan, penempatan devisa hasil ekspor di dalam negeri untuk memperkuat rupiah, peningkatan daya saing produk local melalui insentif industry dan UMKM.
Dengan prinsip politik bebas aktif, Indonesia menjaga hubungan seimbang antara kekuatan besar dunia, sembari memperkuat posisinya di panggung internasional. Meski tantangan dari AS cukup signifikan, peluang untuk menjalin kemitraan baru dan memperkuat pasar domestik justru terbuka lebar.
Di tengah ketidapastian global, Indonesia menunjukkan sikap adaptif dan resilien. Tantangan ekonomi akibat kebijakan AS bukanlah akhir, melainkan titik balik untuk memperkuat fondasi ekonomi nasional melalui inovasi, diplomasi cerdas dan perluasan mitra dagang non-tradisional.