Bebas Aktif atau Pasif Reaktif? Arah Baru Politik Luar Negeri Indonesia di Era Prabowo Dibandingkan Jerman


Awal Mula Prinsip “Bebas Aktif” dan Relevansinya

Sejak awal kemerdekaan, Indonesia menganut prinsip kebijakan luar negeri “bebas aktif” yang dirumuskan oleh Moh. Hatta dalam pidato di sidang KNIP tahun 1948. “Bebas” berarti tidak memihak blok kekuatan manapun, sementara “aktif” berarti turut serta menciptakan perdamaian dunia. Prinsip ini lahir dalam konteks Perang Dingin, ketika dunia terbelah antara Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Uni Soviet), dan Indonesia memilih jalur non-blok untuk menjaga kedaulatannya.

Namun dalam praktiknya, prinsip ini seringkali multitafsir. Pemerintah silih berganti memaknai “bebas aktif” sesuai kepentingan domestik dan konfigurasi kekuatan global. Akibatnya, arah kebijakan luar negeri Indonesia tampak berubah-ubah, bahkan cenderung pasif atau reaktif dalam banyak kasus, seperti konflik Laut Cina Selatan, krisis Rohingya, hingga perubahan iklim.

Prabowo dan Arah Baru Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Menurut Dewi Fortuna Anwar, peneliti politik dari BRIN, ada konsensus bahwa Presiden Prabowo Subianto akan lebih aktif dan personal dalam mengarahkan diplomasi Indonesia. Berbeda dengan Presiden Joko Widodo yang fokus pada diplomasi ekonomi dan pragmatis, Prabowo—dengan latar belakang militer, jaringan global, dan pemahaman geopolitik—diperkirakan akan menghidupkan kembali prinsip bebas aktif dalam bentuk yang lebih tegas dan strategis.

Prabowo tumbuh besar di luar negeri—di Inggris, Swiss, Malaysia, dan Singapura—karena ayahnya, Sumitro Djojohadikusumo, ekonom yang sempat memilih eksil politik. Pendidikan militer Prabowo di AS dan kariernya di TNI memberi fondasi kuat dalam memahami isu geostrategis global. Ketika menjabat Menteri Pertahanan, ia aktif mengunjungi lebih dari 15 negara dalam satu tahun, dari Prancis hingga Yordania, memperlihatkan kecenderungannya pada diplomasi tingkat tinggi.

Dalam retorika kampanye, Prabowo kerap menyuarakan ketidakpuasan atas posisi Indonesia di panggung global. Ia menilai Indonesia lemah dalam bernegosiasi, terlalu terbuka terhadap eksploitasi asing, dan kehilangan kedaulatan ekonomi akibat dominasi investor asing, khususnya dari Cina. Kritik ini melandasi visinya membentuk Indonesia yang “mandiri dan berkuasa”, sesuai dengan arah pendirian Partai Gerindra pada 2008.

Keinginan Prabowo Dalam Merekonstruksi Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Apakah Indonesia Akan Lebih Bebas dan Aktif?

Secara normatif, Indonesia masih menjadikan prinsip bebas aktif sebagai fondasi kebijakan luar negeri, sebagaimana tercantum dalam berbagai dokumen resmi dan pernyataan pemerintah. Namun, dalam praktiknya, penerapan prinsip ini kerap mengalami distorsi. Alih-alih aktif membentuk opini global atau memediasi konflik, Indonesia lebih sering mengambil posisi diam atau hanya memberikan pernyataan diplomatis yang bersifat reaktif dan normatif.

Dalam konteks konflik Rusia-Ukraina, Indonesia menghindari menyebut Rusia sebagai agresor, meskipun pelanggaran terhadap integritas wilayah dan HAM terjadi secara nyata. Dalam kasus Palestina-Israel, Indonesia tampak lebih tegas membela Palestina, namun belum berani memainkan peran sebagai juru damai yang menjembatani kubu yang bertikai. Sementara itu, dalam konflik India-Pakistan terbaru, sikap Indonesia kembali sebatas imbauan normatif, tanpa inisiatif konkret dalam mendorong perundingan atau gencatan senjata.

Guru Besar UI, Prof. Maswadi Rauf, mengkritik penggunaan istilah “netral” oleh pemerintah yang dinilai justru bertentangan dengan semangat bebas aktif. Ia menegaskan, “Dalam politik luar negeri Indonesia, tidak dikenal istilah netral. Kita harus proaktif mengambil posisi, terutama bila menyangkut perdamaian dan keadilan internasional” 

Pengamat hubungan internasional dari UI, Teuku Rezasyah, juga menilai bahwa prinsip bebas aktif sedang mengalami “pembusukan makna” akibat tidak adanya konsistensi antara nilai, strategi, dan tindakan. Menurutnya, “Indonesia harus menyesuaikan bebas aktif dengan konteks zaman, bukan menjadikannya tameng untuk tidak bertindak.”

Hal ini menunjukkan bahwa meskipun prinsip bebas aktif masih digunakan secara simbolik, implementasinya menghadapi tantangan serius: ambiguitas makna, lemahnya kapasitas diplomasi, dan rendahnya keberanian politik untuk mengambil posisi yang tegas. Jika tidak diredefinisi dan direformasi, prinsip ini hanya akan menjadi jargon politik tanpa arah substantif.


Perbandingan dengan Jerman: Konsistensi dan Prinsip Moral

Sebagai negara anggota Uni Eropa, Jerman dikenal memiliki prinsip kebijakan luar negeri yang konsisten: mengutamakan multilateralisme, HAM, demokrasi, dan supremasi hukum. Setelah Perang Dunia II, Jerman Barat membangun politik luar negeri dengan prinsip Zivilmacht (civilian power), menghindari agresi militer, dan aktif dalam pembangunan perdamaian global.

Contohnya:

  • Dalam konflik Ukraina, Jerman aktif memberi bantuan kemanusiaan dan persenjataan ke Ukraina sambil tetap menjaga dialog diplomatik.
  • Di forum global seperti PBB dan Uni Eropa, Jerman konsisten menyuarakan agenda iklim, hak asasi manusia, dan penguatan tata kelola internasional.

Perbedaan utama dengan Indonesia:

  • Jerman memiliki kerangka kelembagaan dan politik luar negeri yang terkoordinasi antara Kementerian Luar Negeri, Bundestag, dan Uni Eropa.
  • Sedangkan Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh aktor tunggal, yaitu presiden, yang dapat menggeser arah diplomasi tanpa banyak mekanisme kontrol dan evaluasi.

Ujian Prinsip Bebas Aktif: Sikap Indonesia dalam Konflik India-Pakistan

Konflik India-Pakistan kembali memanas pada April–Mei 2025, dipicu oleh serangan teroris di Pahalgam, Kashmir, yang menewaskan 27 orang, termasuk wisatawan asing. India menuduh kelompok militan yang berbasis di Pakistan sebagai pelaku, dan melancarkan serangan udara ke sembilan lokasi di Pakistan dalam operasi yang diberi sandi "Sindoor". Pakistan membalas dengan serangan rudal dan drone ke pangkalan militer India, menandai eskalasi serius antara dua negara bersenjata nuklir ini.

Dalam menghadapi konflik ini, Indonesia kembali menunjukkan sikap netral dan menyerukan kedua belah pihak untuk menahan diri serta menyelesaikan perbedaan melalui dialog damai. Pendekatan ini konsisten dengan prinsip "bebas aktif" yang dianut sejak awal kemerdekaan. Namun, dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia dan potensi eskalasi nuklir, sikap netral Indonesia dinilai oleh sebagian pengamat sebagai terlalu pasif dan kurang proaktif dalam mendorong penyelesaian konflik.

Sebagai negara dengan sejarah panjang dalam diplomasi non-blok dan peran aktif di forum internasional, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi mediator atau fasilitator dialog antara India dan Pakistan. Namun, hingga saat ini, belum terlihat upaya konkret dari pemerintah Indonesia untuk mengambil peran tersebut dalam konflik terbaru ini.

Refleksi: Di Mana Posisi Indonesia Sebenarnya?

Sikap Indonesia dalam konflik India-Pakistan menunjukkan bahwa prinsip "bebas aktif" kerap diterjemahkan secara pasif—menunggu krisis pecah, lalu memberi komentar normatif. Tidak ada upaya strategis untuk memperkuat diplomasi preventif atau menjadi penengah aktif yang bisa meningkatkan peran Indonesia di mata dunia.

Jika Presiden Prabowo benar-benar ingin menghidupkan kembali semangat "bebas aktif", maka hal itu perlu diwujudkan lewat langkah konkret: memperkuat kapasitas diplomatik, menginisiasi pertemuan damai, dan tidak ragu bersikap ketika terjadi pelanggaran nilai-nilai fundamental seperti hak asasi manusia atau kolonialisme terselubung.

Bebas Aktif Butuh Arah, Bukan Hanya Slogan

Kebijakan luar negeri Indonesia perlu keluar dari perangkap simbolik. “Bebas aktif” bukan hanya retorika historis, tetapi seharusnya menjadi kerangka strategis yang memandu Indonesia untuk bersuara lantang, konsisten, dan berbasis kepentingan nasional yang berjangka panjang. Kepemimpinan Prabowo membuka peluang arah baru dalam diplomasi Indonesia. Namun, arah itu harus dilandasi oleh etika, konsistensi, dan visi yang tidak hanya menjawab hari ini, tapi juga masa depan Indonesia di dunia yang semakin kompleks. Agar prinsip bebas aktif tidak sekadar menjadi slogan kosong, Indonesia perlu melakukan reformasi strategis dalam kebijakan luar negerinya dengan beberapa langkah kunci:

Penguatan Kapasitas Diplomasi Indonesia harus meningkatkan kualitas dan kuantitas diplomat serta peran Kementerian Luar Negeri agar lebih responsif dan proaktif dalam isu global. Pelatihan diplomasi preventif dan mediasi konflik perlu menjadi prioritas.

Konsistensi dan Kejelasan Kebijakan Pemerintah harus merumuskan kebijakan luar negeri yang konsisten dan tidak berubah-ubah mengikuti kepentingan politik sesaat. Doktrin bebas aktif harus memiliki batas-batas jelas kapan harus mengambil sikap tegas dan kapan harus menahan diri.

Penggunaan Diplomasi Multilateral dan Regional Indonesia dapat memperkuat peran aktifnya melalui organisasi regional seperti ASEAN dan forum multilateral seperti PBB. Dengan berperan sebagai mediator, Indonesia dapat meningkatkan citra dan pengaruhnya.

Memperhatikan Aspek HAM dan Keadilan Global Indonesia harus berani menegakkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya, tanpa mengorbankan hubungan diplomatik. Sikap aktif harus menjangkau isu-isu seperti pelanggaran HAM dan penyelesaian konflik secara damai.

Pemanfaatan Kekuatan Ekonomi dan Budaya Selain aspek politik dan militer, Indonesia perlu memanfaatkan kekuatan soft power-nya, seperti budaya dan ekonomi, untuk mendukung posisi tawar dalam diplomasi global.

Dengan reformasi ini, Indonesia dapat menjadikan prinsip bebas aktif sebagai alat strategis yang nyata, bukan hanya prinsip simbolik, sekaligus membangun posisi sebagai negara berkembang yang dihormati dan diperhitungkan di panggung internasional.

Keyword 

Kebijakan luar negeri Indonesia, Prinsip bebas aktif, Diplomasi Indonesia, Prabowo Subianto kebijakan luar negeri, Diplomasi multilateral Indonesia, Indonesia dan konflik internasional, Peran Indonesia di PBB, Diplomasi ASEAN

Bebas Aktif atau Pasif Reaktif? Arah Baru Politik Luar Negeri Indonesia di Era Prabowo Dibandingkan Jerman Bebas Aktif atau Pasif Reaktif? Arah Baru Politik Luar Negeri Indonesia di Era Prabowo Dibandingkan Jerman Reviewed by Atallah Daffa Jawahir on Mei 15, 2025 Rating: 5