![]() |
Gambar ini diambil dari sumber ini. Klik lebih lanjut untuk melihat |
Dalam beberapa waktu terakhir, publik dikejutkan oleh kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi yang mengirim siswa-siswa yang dianggap “nakal” ke barak militer. Kebijakan ini, meski dibalut dengan dalih pembinaan moral dan disiplin, memunculkan pertanyaan mendasar: apakah institusi pendidikan sedang diarahkan menjadi perpanjangan tangan pendekatan militeristik?
Sebelumnya penulis udah menjelaskan di artikel sebelumnya, jika militerisasi akan merambat ke semua sektor kehidupan. Sudah saatnya kita semakin sadar dan waspada terhadap kebijakan pemerintah baik dari pusat maupun di daerah kita masing-masing. Kebijakan mengirim anak ke barak merupakan penanaman doktrin secara langsung kepada generasi penerus bahwa solusi dari segala permasalahan adalah pendekatan militeristik.
Kebijakan semacam ini bukan hanya problematis secara etik, tapi juga mencerminkan kekeliruan dalam memahami hakikat pendidikan. Pendidikan bukan soal meredam kenakalan dengan kekerasan simbolik, melainkan tentang membentuk manusia yang berpikir kritis, reflektif, dan berdaya. Ketika institusi negara mulai mengadopsi pendekatan militer untuk menyelesaikan masalah sosial dalam dunia pendidikan, yang terjadi bukan solusi, tetapi normalisasi kekuasaan represif dalam ruang yang seharusnya mendewasakan secara dialogis.
Awal mula masuk Militerisitik Era Prabowo
Kenakalan Siswa: Simptom Bukan Masalah Inti
Pertama, penting dipahami bahwa kenakalan siswa adalah gejala, bukan akar masalah. Penyebabnya beragam: lingkungan keluarga yang disfungsional, tekanan akademik, sistem pendidikan yang tidak inklusif, hingga minimnya ruang ekspresi siswa. Sayangnya, kebijakan Dedi Mulyadi justru melompati tahap diagnosis dan langsung meluncur ke “solusi militeristik” – menyerahkan siswa ke pelatihan ala barak dengan harapan mereka menjadi disiplin.
Kenakalan siswa—seperti membolos, berbicara kasar, melawan guru, atau enggan mengikuti aturan sekolah—sering dilihat sebagai masalah utama. Padahal, itu semua hanyalah simptom dari masalah struktural dan psikososial yang lebih dalam. Contohnya, siswa yang sering membolos mungkin mengalami tekanan di rumah, merasa asing dengan kurikulum yang kaku, atau mengalami perundungan di lingkungan sekolah. Sementara siswa yang memberontak bisa jadi sedang menunjukkan resistensi terhadap sistem yang tidak memberinya ruang untuk bersuara.
Dengan kata lain, perilaku menyimpang siswa adalah bentuk ekspresi dari kegelisahan, bukan semata-mata pembangkangan. Maka, solusi atasnya haruslah bersifat mendalam, bukan permukaan. Mengirim siswa ke barak bukanlah menjawab akar persoalan, tetapi hanya meredam gejalanya dengan cara paksa.
Pendekatan semacam ini mengesampingkan pedagogi kritis dan nilai-nilai hak anak. UNESCO sendiri telah menggarisbawahi pentingnya pendidikan yang manusiawi, partisipatif, dan inklusif. Ketika negara lebih memilih “barak” ketimbang “dialog,” yang terjadi adalah pemeliharaan budaya takut, bukan budaya hormat.
Peran Pedagogi Kritis: Mendidik, Bukan Mengendalikan
Di sinilah pedagogi kritis—sebuah pendekatan pendidikan yang dicetuskan Paulo Freire—harus hadir dalam sistem pendidikan kita. Pendekatan ini berpijak pada pandangan bahwa pendidikan bukanlah alat domestikasi, melainkan alat pembebasan.
Dalam praktiknya, pedagogi kritis menempatkan siswa sebagai subjek aktif yang diajak untuk:
- memahami realitas sosial dan struktural di sekitarnya;
- mengembangkan kemampuan berpikir reflektif dan kritis terhadap norma-norma yang ada;
- membangun dialog dua arah dengan guru, bukan sekadar menerima informasi secara pasif.
Pendekatan ini akan membantu siswa memahami alasan di balik perilaku mereka sendiri. Siswa yang dianggap “nakal” tidak langsung dihukum, melainkan diajak berbicara, dicari latar belakang perilakunya, dan dibantu menemukan solusinya bersama. Inilah pendidikan yang benar-benar membangun karakter dan daya pikir, bukan sekadar menuntut ketaatan kosong.
Normalisasi Dominasi Militer dalam Ruang Sipil
Kebijakan ini juga tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan yang lebih besar: normalisasi dominasi militer dalam ruang sipil, termasuk pendidikan. Dalam sejarah Indonesia, praktik dwifungsi ABRI pernah menjadikan institusi militer sebagai kekuatan hegemonik di berbagai sektor sipil, termasuk pendidikan. Reformasi 1998 adalah upaya memisahkan kekuatan militer dari ruang sipil. Namun, dalam satu dekade terakhir, kecenderungan itu tampak menguat kembali.
Kehadiran militer dalam ruang pendidikan, meski dibungkus dengan retorika nasionalisme dan disiplin, perlahan membentuk struktur pikir hierarkis dan antikritik dalam benak siswa. Anak-anak muda tidak sedang diajak berpikir, tetapi dikondisikan untuk tunduk. Ini bukan soal kedisiplinan, tetapi kontrol.
Mengapa Ini Berbahaya?
Pertama, militerisme dalam pendidikan mengikis nilai demokrasi. Siswa tidak lagi dianggap sebagai individu yang memiliki potensi berpikir dan bertindak, melainkan sebagai objek yang harus “diatur” dan “disetir.” Kedua, pendekatan ini menyingkirkan peran guru, konselor, dan psikolog pendidikan sebagai aktor utama dalam menangani perilaku siswa. Ketiga, ini membuka jalan bagi penggunaan kekerasan simbolik (bahkan fisik) dalam menyelesaikan masalah remaja.
Secara psikologis, mengirim siswa ke barak juga berpotensi menimbulkan trauma, bukan solusi. Pendekatan ini bisa memunculkan perasaan gagal, inferior, bahkan dendam pada institusi pendidikan. Yang diciptakan bukanlah generasi disiplin, melainkan generasi yang terbiasa tunduk dan takut tanpa pernah memahami alasannya.
Program ini tidak memiliki landasan yang kuat. Tidak ada kurikulum, silabus atau modul ajar yang disiapkan. Ini menjadikan anak-anak sebagai kelinci percobaan. Kata Sekretaris Jenderal FSGI Fahriza Marta Tanjung pada Senin, 19 Mei 2025. Mereka Desak Penghentian Program Dedi Mulyadi Kirim Anak ke Barak Militer
Corak militerisitk yang demikian justru sangat berpotensi mengancam kebebasan anak sehingga anak akan belajar dan tumbuh dalam lingkungan yang tidak sesuai kebutuhan, bahkan tidak menjawab akar persoalan dari perilaku penyimpangan. Ujar Aliansi PKTA (Penghapusan Kekerasan Terhadap Anak) pada 4 Mei 2025.
Apa Alternatifnya?
Kritik tentu harus diiringi dengan tawaran solusi. Dalam konteks ini, pendekatan yang lebih humanis dan progresif perlu dikedepankan. Sekolah dan pemerintah daerah seharusnya memperkuat layanan konseling, melibatkan komunitas, serta menciptakan ruang belajar yang inklusif dan tidak toxic. Kenakalan siswa adalah sinyal, bukan dosa. Tugas pendidikan adalah merespons sinyal itu, bukan menghukumnya.
Solusi yang ditawarkan harus mengakar pada prinsip humanisme dan inklusivitas. Sekolah dan pemerintah daerah perlu memperkuat layanan konseling, pelatihan guru dalam pendekatan restoratif, serta menciptakan ruang dialog yang sehat antara siswa dan otoritas sekolah.
Penting pula memaksimalkan peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sebagai lembaga negara yang secara spesifik menangani perlindungan anak. KPAI seharusnya lebih aktif turun tangan ketika terjadi konflik atau masalah antara siswa dan lembaga pendidikan. Tak hanya mengadvokasi hak anak, KPAI juga dapat menjadi mitra strategis dalam memberikan konseling, pendampingan psikologis, hingga mediasi antara pihak sekolah dan keluarga siswa.
Restorative justice dalam pendidikan—yakni penyelesaian konflik melalui mediasi, pemulihan hubungan, dan tanggung jawab bersama—dapat diperkuat dengan kolaborasi antara sekolah, dinas pendidikan, dan lembaga perlindungan anak seperti KPAI. Pendekatan ini telah terbukti lebih efektif dalam membangun kedisiplinan yang berlandaskan kesadaran, bukan paksaan.
KPAI Minta Dedi Mulyadi Evaluasi Program Pengiriman Anak ke Barak Militer
Jangan Bawa Anak ke Barak
Kebijakan Gubernur Dedi Mulyadi bukan hanya problematik dari segi pendekatan, tetapi juga membuka celah bagi kembalinya militerisme dalam pendidikan. Pendidikan harus tetap menjadi ruang yang aman, membebaskan, dan membentuk nalar kritis siswa—bukan menjadi pintu masuk dominasi militer dalam ranah sipil.
Kita membutuhkan sistem pendidikan yang memanusiakan, bukan menaklukkan. Jangan bawa anak ke barak, bawa mereka ke ruang kelas yang dialogis, reflektif, dan adil. Hanya dari sanalah masa depan yang demokratis bisa dibangun.
Memang, tantangan pendidikan tidak mudah. Tetapi jalan keluarnya bukan melalui intimidasi berbaju nasionalisme, melainkan melalui pendekatan yang berpihak pada tumbuh kembang anak dan nilai-nilai demokrasi. Kita harus menolak kebijakan populis yang memicu tepuk tangan sesaat, tapi merusak fondasi berpikir generasi mendatang.