Indonesia di Era Society 5.0: Ketika Teknologi dan Realita Sosial Berpadu
Dua dekade terakhir telah menjadi saksi bagi geliat revolusi teknologi dan komunikasi yang mengubah cara manusia hidup, bekerja, dan berpikir. Dari percikan revolusi industri pertama yang dipicu oleh mesin uap hingga kemajuan terkini berupa kecerdasan buatan (AI), masyarakat global kini berdiri di ambang babak baru: era Society 5.0. Konsep ini bukan sekadar jargon futuristik. Ia adalah potret bagaimana teknologi tak lagi hanya menjadi alat produksi, tetapi bagian integral dari kehidupan sosial yang kompleks.
Era Society 5.0 menekankan integrasi antara ruang sosial dan inovasi digital. Ini bukan lagi soal manusia versus mesin, melainkan manusia bersama mesin—berkolaborasi dan berelaborasi. Teknologi mutakhir seperti AI, Internet of Things (IoT), dan robotika bukan hanya dipakai untuk efisiensi industri, tetapi untuk menyelesaikan masalah sosial: kemacetan, kemiskinan, pendidikan, hingga pelayanan kesehatan. Inilah diferensiasi utama dari era sebelumnya, yaitu yang lebih menitikberatkan pada otomatisasi.
Masyarakat Digital: Lebih Terkoneksi, Tapi Juga Lebih Kompleks
Kita bisa menyaksikan fenomena ini dalam kehidupan sehari-hari. Undangan pernikahan yang dulu berbentuk fisik kini bergeser ke undangan digital via chat. Belanja kebutuhan rumah tangga kini bisa dilakukan hanya dengan beberapa ketukan jari di ponsel. Bahkan interaksi sosial pun bertransformasi melalui platform digital. Generasi muda, khususnya Gen Z, hidup dalam sebuah konsep yang menempatkan teknologi sebagai bagian dari ekosistem sosial, bukan sebagai entitas yang terpisah.
Namun perubahan ini tak terjadi dalam ruang hampa. Di Indonesia, transformasi ini berjalan bersamaan dengan tantangan khas negara berkembang: kesenjangan digital.
Transformasi Digital: Antara Infrastruktur dan Kesadaran Kolektif
Pemerintah sebenarnya telah berupaya melalui pembangunan infrastruktur seperti Proyek Palapa Ring, yang membentangkan jaringan serat optik sepanjang lebih dari 12.000 km. Proyek ini bahkan menjangkau wilayah-wilayah terpencil. Di atas kertas, ini adalah langkah monumental. Tapi dalam pelaksanaannya, tantangan efisiensi anggaran dan ketimpangan akses masih menjadi pekerjaan rumah besar. Pusat-pusat data yang dibangun di Batam, Jabodetabek, dan Ibu Kota Nusantara (IKN) hanyalah satu sisi koin; sisi lainnya adalah sejauh mana masyarakat bisa mengakses dan memanfaatkannya.
Salah satu sektor yang terdampak besar dari era digital adalah ekonomi. Ekonomi digital Indonesia menunjukkan performa impresif. Nilainya pada 2022 mencapai Rp 1.408 triliun atau sekitar 8% dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Diproyeksikan akan meningkat menjadi Rp 2.080 triliun pada 2025. Bahkan laporan Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan Gross Merchandise Value (GMV) Indonesia pada 2023 bisa menembus angka 82 miliar dolar. Angka-angka ini bukan hanya statistik; ia mencerminkan bagaimana ekonomi digital menjadi mesin baru pertumbuhan nasional.
Ekonomi Digital: Peluang Besar, Tapi Siapkah Kita?
Pendorong utama dalam pertumbuhan ekonomi digital ini adalah startup. Indonesia saat ini menempati peringkat ke-6 dunia dalam jumlah startup, dengan lebih dari 2.600 perusahaan rintisan, termasuk 15 unicorn dan 2 decacorn. Ini adalah pencapaian yang membanggakan, mengingat kita baru intens menggarap sektor ini dalam 10–15 tahun terakhir. Inisiatif seperti Bandung Techno Park dan Bandung High Tech Valley adalah contoh bagaimana kolaborasi antara institusi pendidikan dan industri bisa menghasilkan ekosistem inovasi yang sehat.
Namun, transformasi digital bukan hanya tentang peluang. Ada tantangan besar yang tak bisa diabaikan: kesenjangan digital dan rendahnya literasi digital. Di wilayah perkotaan, 78% rumah tangga memiliki akses internet. Bandingkan dengan hanya 47% di pedesaan. Ini adalah celah yang tidak bisa ditambal hanya dengan membangun menara BTS atau menggulirkan subsidi. Masalah literasi digital pun mengkhawatirkan. Indonesia hanya mencatat skor 62% dalam Indeks Literasi Digital ASEAN, tertinggal dari negara-negara tetangga. Artinya, meskipun akses teknologi sudah tersedia, belum tentu masyarakat tahu cara menggunakan atau memilah informasi secara bijak.
Baca Selengkapnya di Sustainability In Creative Industries
AI dan Masa Depan Talenta Indonesia
Menuju Revolusi Industri 5.0, peran manusia tidak bisa tergantikan oleh mesin, tetapi harus mampu bersinergi dengannya. AI diproyeksikan akan menyumbang USD 366 miliar atau sekitar 12% dari PDB nasional pada 2030. Tapi sejauh ini, Indonesia masih berada di peringkat ke-46 dari 62 negara dalam Global AI Index 2023. Untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan sekitar 9 juta talenta digital hingga 2030. Sayangnya, program pelatihan dan peningkatan keterampilan yang ada saat ini masih bersifat fragmentaris dan belum cukup menjangkau seluruh lapisan masyarakat.
Kuncinya adalah investasi pada sumber daya manusia, bukan hanya pada infrastruktur. Program-program yang digagas pemerintah seperti pelatihan digital berbasis kerja sama swasta dan institusi pendidikan harus ditingkatkan, baik dari segi kualitas maupun jangkauan. Masyarakat perlu disiapkan tidak hanya dengan hard skill seperti coding atau analisis data, tetapi juga soft skill seperti literasi kritis dan etika digital.