Mata Air vs Mega Proyek: Siapa yang Lebih Berharga


Paemerintah menyebutnya sebagai energi bersih masa depan. Kami melihatnya sebagai ancaman terhadap masa depan air dan alam kami. Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Arjuno-Welirang di Kota Batu, Jawa Timur, adalah contoh nyata bagaimana ambisi energi nasional bisa mengabaikan suara rakyat dan keseimbangan ekologis.

Wilayah kerja panas bumi ini dikelola oleh PT Geo Dipa Energi (Persero), perusahaan milik negara. Dengan potensi kapasitas 180 MW, proyek ini masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN). Artinya, percepatan pembangunan menjadi prioritas, meski harus mengorbankan kawasan hutan lindung dan sumber mata air seperti Sumber Gemulo yang vital bagi warga Batu.

Warga di Pinggir Kuasa

Sejak 2023, warga Desa Bulukerto, Kota Batu, telah menyuarakan penolakan. Mereka khawatir proyek geothermal ini akan mengancam pasokan air bersih, mengganggu hidrologi tanah, dan merusak ekosistem Gunung Arjuno-Welirang yang kaya keanekaragaman hayati. Sayangnya, proses konsultasi publik yang dilakukan pemerintah dan perusahaan dinilai tidak partisipatif dan lebih menyerupai sosialisasi satu arah (WALHI Jawa Timur, 2024).

Relasi kuasa dalam proyek ini sangat timpang. Pemerintah pusat dan BUMN berada di puncak pengambil keputusan. Pemerintah daerah sering kali gamang: terjepit antara menjalankan mandat nasional dan menghadapi aspirasi masyarakat lokal. Sementara warga hanya diberikan ruang “mendengar”, bukan “menentukan”.

Energi Bersih, Tapi Tidak Berkeadilan

Energi bersih dan berkeadilan adalah konsep yang menekankan pentingnya transisi ke sumber energi rendah emisi seperti geothermal, dengan tetap memastikan keterlibatan masyarakat, pemerataan manfaat, dan perlindungan lingkungan. Namun, dalam kasus proyek geothermal di Kota Batu, Jawa Timur, prinsip keadilan ini belum terpenuhi. Meskipun secara teknis tergolong energi bersih, proyek ini mendapat penolakan karena dinilai mengancam sumber air dan pertanian warga, minim partisipasi publik, dan berpotensi merusak ekosistem hutan Arjuno-Welirang. Hal ini menunjukkan bahwa energi bersih belum tentu berkeadilan jika tidak dikelola dengan transparansi dan keberpihakan pada masyarakat lokal.

1.      Ancaman terhadap Sumber Air dan Pertanian, wilayah lereng Gunung Arjuno, termasuk Kota Batu, dikenal sebagai sumber mata air penting bagi pertanian dan kebutuhan domestik masyarakat. Namun, rencana eksploitasi geothermal berpotensi mengurangi debit air tanah dan merusak ekosistem sumber air. Hal ini dapat mengancam ketahanan pangan dan mata pencaharian petani local. 

         https://lpmdidaktika.com/warga-protes-proyek-geothermal-berjalan-tidak-transparan/?

        Keterbatasan Partisipasi Masyarakat, proses sosialisasi proyek geothermal dinilai tidak transparan dan tidak melibatkan masyarakat secara memadai. Sebagian besar warga tidak diberikan informasi yang cukup tentang dampak dan manfaat proyek, sehingga mereka tidak dapat memberikan persetujuan secara bebas dan sadar (Free, Prior, and Informed Consent/FPIC).

3.      Dampak Lingkungan yang Merugikan, eksplorasi geothermal dapat menyebabkan perubahan struktur tanah, berpotensi menurunkan kualitas lingkungan, dan mengancam biodiversitas lokal. Selain itu, penggunaan air dalam jumlah besar untuk injeksi dapat menyebabkan penurunan permukaan tanah dan meningkatkan risiko gempa kecil (induced seismicity). 

https://mcwngalam.org/suara-rakyat/petani-di-kota-batu-hidup-dalam-bayang-bayang-psn-geothermal

https://www.detik.com/jabar/berita/d-6406042/warga-kaki-gunung-gede-pangrango-tolak-proyek-harta-karun-geothermal?

4.      Alih Fungsi Lahan dan Kehilangan Mata Pencaharian, pembangunan fasilitas geothermal sering kali melibatkan alih fungsi lahan pertanian menjadi area industri. Hal ini dapat mengakibatkan hilangnya mata pencaharian bagi petani dan perubahan sosial-ekonomi yang signifikan di komunitas local.

 Dampak Nyata, contoh nyata bisa dilihat dari kasus PLTP Dieng di Banjarnegara, Jawa Tengah. Pada 2023, terjadi ledakan sumur pengeboran milik PT Geo Dipa Energi yang menyemburkan lumpur dan gas H₂S (hidrogen sulfida) beracun ke pemukiman warga. Sebanyak 21 orang harus dirawat karena sesak napas dan iritasi mata. Warga juga mengeluhkan turunnya kualitas air dan getaran tanah selama pengeboran berlangsung (Tempo.co, 2023).

Di Lahendong, Sulawesi Utara, warga sekitar PLTP milik Pertamina Geothermal Energy melaporkan pencemaran air sumur serta keretakan tanah di permukiman sejak awal 2010-an. Penelitian oleh Universitas Sam Ratulangi (2019) mencatat perubahan suhu tanah dan air tanah di radius 500 meter dari lokasi pengeboran.

Dampak seperti ini bukan hanya “teknis”, tapi menyangkut hak hidup, kesehatan, dan keberlanjutan ekosistem lokal.

Pertanyaannya bukan sekadar apakah energi itu bersih, tapi: apakah ia adil?

Apakah energi ini dibangun dengan melibatkan masyarakat? Apakah keberlanjutan ekologis diprioritaskan? Apakah hak atas air dan ruang hidup dijamin?

Jika jawabannya tidak, maka proyek ini bukan solusi, melainkan bagian dari krisis.

 Jalan yang Masih Bisa Diperbaiki, penolakan warga tidak harus diartikan sebagai bentuk anti-kemajuan. Justru, itu adalah panggilan untuk membangun dengan cara yang lebih adil. Pemerintah harus menjamin keterbukaan data, meninjau kembali AMDAL secara partisipatif, dan memberi ruang bagi alternatif energi lokal berbasis komunitas.

Kota Batu bukan hanya destinasi wisata. Ia adalah ruang hidup yang diwariskan dari generasi ke generasi. Jangan biarkan ambisi energi nasional mengubah mata air menjadi air mata.