Setiap tanggal 1 Mei, dunia memperingati Hari Buruh Internasional sebagai momen refleksi terhadap perjuangan kelas pekerja. Namun, di balik sorotan terhadap buruh formal di negara asal, nasib buruh migran justru kerap luput dari pembahasan mendalam. Padahal, berdasarkan data International Labour Organization (ILO), terdapat sekitar 169 juta buruh migran di seluruh dunia—sebagian besar berasal dari negara-negara berkembang dan bekerja di negara-negara maju atau kaya secara ekonomi.
Di atas kertas, migrasi tenaga kerja sering dianggap sebagai solusi pragmatis atas kemiskinan dan pengangguran di negara asal. Namun realitas di lapangan menunjukkan wajah lain dari globalisasi tenaga kerja: wajah yang dipenuhi eksploitasi, ketimpangan perlindungan hukum, dan lemahnya tanggung jawab negara dalam melindungi warganya.
Harapan dari Selatan Global
Negara-negara seperti Indonesia, Filipina, Nepal, dan Bangladesh menjadi "penyedia" utama buruh migran untuk sektor informal dan jasa domestik di negara-negara seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Hong Kong, Korea Selatan, dan Jepang. Dalam banyak kasus, pengiriman buruh migran telah menjadi bagian dari strategi ekonomi nasional karena menyumbang remitansi dalam jumlah besar.
Namun di balik angka remitansi tersebut, ada harapan yang dibebankan di pundak individu. Para buruh migran pergi meninggalkan keluarga demi pekerjaan yang belum tentu aman atau manusiawi. Mereka memasuki sistem kerja yang seringkali timpang, tidak seimbang, bahkan predatoris.
Eksploitasi yang Terstruktur
Salah satu bentuk eksploitasi paling sistematis terjadi di wilayah Teluk dengan sistem Kafala—sebuah sistem sponsor yang memberikan kendali penuh kepada majikan terhadap buruh migran. Di bawah sistem ini, pekerja tidak dapat berpindah kerja tanpa izin majikan, paspor disita, dan kondisi kerja sering berada di luar standar kemanusiaan. Banyak kasus pelecehan, kekerasan fisik, hingga kematian terjadi tanpa ada konsekuensi hukum yang jelas bagi pelaku.
Kondisi yang tak kalah suram juga terjadi di sektor domestik di negara-negara maju seperti Hong Kong dan Singapura. Meski terlihat modern, banyak pekerja rumah tangga migran bekerja lebih dari 16 jam sehari tanpa hari libur, dan menghadapi risiko pelecehan psikologis maupun seksual. Ironisnya, sektor ini sering dikecualikan dari perlindungan ketenagakerjaan formal.
Fakta dan Angka yang Menguatkan
📌 Menurut ILO (2021), sekitar 41% buruh migran dunia adalah perempuan, dan mayoritas bekerja di sektor rumah tangga, perawatan, dan jasa kebersihan. Sementara itu, Asia dan Arab menjadi wilayah pengirim dan penerima buruh migran terbesar. Source. International Labour Organization
Di Mana Negara?
Negara asal seringkali menekankan kebanggaan atas "pahlawan devisa", tetapi gagal menyediakan perlindungan konkret. Mulai dari proses pra-keberangkatan yang minim informasi, calo yang menjerumuskan dengan biaya tinggi, hingga lemahnya pendampingan hukum di negara tujuan—semua ini menunjukkan ketidaksiapan struktural.
Di sisi lain, negara-negara tujuan kerja kerap menghindari ratifikasi konvensi internasional tentang perlindungan pekerja migran, seperti ILO Convention 189. Alasannya jelas: ratifikasi berarti peningkatan standar perlindungan dan konsekuensi hukum, yang dianggap memberatkan secara ekonomi dan administratif.
Baca Selengkapnya Posisi Negara Indonesia Dalam Melindungi Pekerja Migran
Di balik deretan angka remitansi, ada seorang ibu yang harus berbicara lewat video call dengan anaknya, hanya beberapa menit setiap pekan, karena waktu dan sinyal tak pernah berpihak. Ada pekerja yang mengidap penyakit akibat kerja berlebih, tapi tidak bisa berobat karena tak punya jaminan kesehatan. Mereka bukan hanya statistik. Mereka adalah wajah buruh migran: pekerja keras yang terlalu sering disisihkan dari narasi pembangunan global.
Diplomasi yang Lemah, Solidaritas yang Kuat
Upaya diplomatik untuk melindungi buruh migran kerap bersifat reaktif dan simbolis. Penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) antara negara asal dan negara tujuan sering tidak dibarengi mekanisme implementasi yang efektif.
Namun di tengah kemandekan diplomasi formal, muncul kekuatan dari bawah: gerakan buruh migran dan LSM internasional yang membangun solidaritas lintas negara. Di Hong Kong, misalnya, aliansi buruh migran dari Filipina, Indonesia, dan Nepal secara rutin mengadakan unjuk rasa dan pendidikan hukum untuk sesama pekerja.
Menuju Perlindungan yang Adil
Menjadi buruh migran seharusnya tidak berarti menyerahkan martabat dan hak asasi. Keberadaan mereka dalam sistem ekonomi global harus disertai dengan komitmen global pula untuk memastikan standar perlindungan yang adil dan universal.
Negara-negara asal harus berhenti melihat buruh migran semata sebagai sumber devisa, tetapi sebagai warga negara yang berhak atas perlindungan penuh. Sementara negara-negara tujuan perlu menyadari bahwa stabilitas ekonominya bertumpu pada kerja-kerja yang sering tidak terlihat—dan bahwa keadilan sosial tidak boleh berhenti di batas negara.
Selamat Hari Buruh Internasional bagi seluruh pekerja di dunia.
Tagar
#HariBuruh #BuruhMigran #GlobalSouth #DiplomasiHAM #ILO #Kafala #EksploitasiPekerja #KeadilanGlobal